Perpisahan yang terjadi antara sepasang suami isteri ada dua macam. Yang pertama, berpisah ketika masih hidup, ini biasanya dengan bercerai. Dan yang kedua, berpisah karena ditinggal mati.
Pada kedua jenis perpisahan itu wanita harus menjalani masa iddah; yaitu masa tertentu dimana wanita harus menunggu secara syar`i.
Masa iddah ini disyariatkan oleh Allah I karena terdapat banyak hikmah padanya. Diantaranya:
-Iddah merupakan masa haram dimana wanita dilarang digauli setelah putusnya tali pernikahan.
-Masa iddah ini untuk meyakinkan bahwa seorang wanita tidak mengalami kehamilan dalam rahimnya. Sehingga ia tidak disetubuhi lelaki lain yang bukan mantan suaminya, karena hal[1] itu menyebabkan adanya keraguan terhadap janin yang dikandung[2] dan hilangnya nasab keturunan.
-Masa iddah ini disyariatkan demi menghormati akad nikah yang terjalin dengan lelaki terdahulu, demi menghormati hak suami yang mencerai, dan menampakkan pengaruh akibat bercerai dengan suami.
Masa iddah ada empat macam:
Pertama, iddah wanita hamil. Yaitu sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya. Ini ketentuan mutlak yang tak bisa dirubah-rubah. Berlaku bagi semua wanita hamil; apakah ia wanita yang dicerai dengan talak ba`in atau dengan talak raj`i. Apakah ia dicerai ketika masih sama-sama hidup, atau karena ditinggal mati. Allah I berfirman,
{وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} (الطلاق: 4)
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddahnya sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-
Thalaaq: 4)
Thalaaq: 4)
Kedua, iddah wanita masih haid yang dicerai. Masa iddahnya adalah tiga kali quru`, atau tiga kali haid. Allah I Berfirman,
{وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ} (البقرة: 228)
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Tiga kali quru` disini maksudnya tiga kali haid.
Ketiga, iddah wanita yang tidak berhaid. Wanita seperti ini ada dua macam: gadis sangat kecil yang belum mengalami haid, dan wanita yang sudah tidak haid lagi (monopause). Allah I menjelaskan masa iddah dua macam wanita ini dalam firman-Nya,
{وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ} (الطلاق: 4)
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath-Thalaaq: 4)
Keempat, wanita yang ditinggal mati suaminya. Allah I menjelaskan masa iddah mereka dalam firman-Nya,
{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا} (البقرة: 234)
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) selama empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234)
Ayat diatas mencakup wanita yang sudah disetubuhi suaminya, maupun wanita yang belum disetubuhi. Juga mencakup gadis kecil yang belum berhaid, dan wanita yang tidak lagi mengalami haid. Tetapi wanita hamil tidak tercakup dalam ayat diatas, sebab wanita hamil ada hukum tersendiri, seperti firman-Nya,
{وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} (الطلاق: 4)
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddahnya sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaaq: 4)
Lihat kembali, Zaadul Ma`ad karya Ibnul Qayyim, 5/594-595 dalam cetakan yang sudah ditahqiq.
Hal-Hal Yang Diharamkan Terhadap Wanita Pada Masa Iddah:
1-Hukum meminang wanita dalam masa iddah:
A-Meminang wanita dalam masa iddah talak raj`i.[3]
Meminang wanita yang berada dalam masa iddah karena talak raj`i, hukumnya adalah haram. Baik meminangnya secara terang-terangan, atau meminangnya secara ta`ridh (yaitu meminang lewat kata-kata sindiran). Sebab wanita dalam masa iddah talak raj`i ini masih dibawah naungan suaminya, sehingga ia dihukumi seperti wanita yang masih bersuami. Karena itu tidak boleh bagi siapa pun untuk meminangnya.
B-Meminang wanita dalam masa iddah talak selain raj`i.[4]
Wanita yang berada dalam masa iddah talak selain raj`i, haram dipinang dengan kata-kata yang jelas (sharih), tapi boleh dipinang dengan kata-kata sindiran (ta`ridh).
Allah I Berfirman,
{وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ} (البقرة: 235)
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Melamar secara tashrih (terang-terangan), yaitu jika lelaki menampakkan keinginannya untuk menikahi sang wanita pada masa iddah. Misalnya ia mengucapkan, “Saya ingin menikahi kamu”. Hal ini diharamkan, karena dampaknya; jika seorang wanita berminat besar untuk menikah lagi, bisa jadi ia berbohong dan mengatakan masa iddahnya telah habis, padahal sebenarnya belum.
Lain dengan pinangan lewat ta`ridh (kata-kata sindiran), yaitu jika lelaki tidak mengungkapkannya secara terus terang ingin mengawininya. Pada kata-kata sindiran ini tidak terdapat dampak yang buruk atau dilarang seperti pada pinangan yang terus terang. Dan ta`ridh inilah yang sesuai dengan pemahaman ayat diatas.
Contoh pinangan dengan ta`ridh, jika seorang lelaki berkata, “Saya senang kepada wanita seperti anda”.
Bagi wanita yang berada dalam masa iddah selain talak raj`i, boleh menjawab pinangan ta`ridh (sindiran) dengan ungkapan yang ta`ridh pula. Tapi ia diharamkan untuk menjawab pinangan yang tashrih (terang-terangan).
Adapun wanita yang berada dalam masa iddah talak raj`i, ia diharamkan menjawab pinangan lelaki mana pun. Baik lelaki yang melamar lewat ta`ridh atau pun tashrih.
2-Diharamkan mengadakan akad nikah dengan wanita yang berada dalam masa iddah dari lelaki lain.
Pernyataan ini berdasarkan firman Allah I yang Berbunyi,
{وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ} (البقرة: 235)
“Dan janganlah kamu ber`azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, janganlah kalian mengadakan akad nikah sampai masa iddah benar-benar habis. Dan para ulama` telah bersepakat (ijma`) bahwa akad nikah yang diadakan pada masa iddah hukumnya tidak sah.” (Lihat tafsir Ibnu Katsir, 1/509)
Dua hal penting:
Pertama, Wanita yang dicerai sebelum digauli suami, tidak ada masa iddah baginya. Karena Allah I Berfirman,
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا} (الأحزاب: 49)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka `iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”(QS. Al-Ahzab: 49)
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah perkara yang sudah disepakati oleh para ulama`. Yaitu jika seorang wanita dicerai suaminya sebelum digauli, maka wanita itu tidak ada masa iddahnya. Jadi wanita itu boleh segera menikah dengan lelaki manapun yang ia kehendaki.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/479)
Kedua, Jika wanita yang dicerai sebelum digauli, maskawinnya sudah ditentukan oleh pihak suami, maka ia berhak mendapat separuh dari maskawin itu. Jika maskawin belum ditentukan, maka ia cukup mendapat pesangon berupa pakaian atau sesuatu yang lain.
Dan siapa pun dari wanita yang dicerai setelah digauli, maka ia berhak mendapat mahar itu secara penuh. Allah I Berfirman,
{لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ}
(البقرة: 236)
(البقرة: 236)
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)
Sampai firman Allah I yang berbunyi,
{وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} (البقرة: 237)
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237)
Maksudnya: Wahai para suami! Tidak ada dosa atas kalian, jika mentalak isteri sebelum kalian menggauli dan menentukan mahar buat mereka. Meski dalam hal itu ada rasa sakit dalam hati mereka, tapi rasa sakit pada wanita itu bisa terobati dengan pesangon yang kalian berikan. Pesangon itu tergantung pada setiap suami sesuai dengan keadaan masing-masing; yang kaya memberikan sesuai dengan yang dimiliki, dan yang miskin memberikan sesuai dengan yang ia punyai, sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kalian harus berlaku adil dan tak boleh menzalimi.
Setelah itu Allah I menyebutkan wanita yang dicerai sebelum digauli, tapi maharnya sudah ditentukan. Allah I mewajibkan atas suami untuk memberikan separuh mahar itu kepada wanita tersebut.
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata, “Memberikan separuh maskawin kepada wanita dalam kondisi seperti ini, adalah perkara yang sudah disepakati para ulama`. Tak ada perselisihan diantara mereka dalam hal ini.” (Tafsir Ibnu katsir, 1/512)
3-Wanita dalam masa iddah, diharamkan untuk melakukan lima hal. Inilah yang dinamakan dengan “Al-Hidaad”
Pertama, memakai wangi-wangian dengan segala jenisnya. Sehingga, haram baginya memakai wangi-wangian pada tubuh dan pakaian. Juga tidak boleh memakai apapun yang dilumuri minyak wangi. Hal ini berdasarkan sabda nabi dalam hadits sahih yang berbunyi,
((وَلاَ تَمَـسُّ طِيْباً))
“Ia dilarang menggunakan minyak-minyak wangi.”
Kedua, merias badan dan berdandan. Ia tidak boleh mewarnai anggota tubuh dengan daun pacar, juga tidak boleh menggunakan segala jenis riasan, seperti; celak, dan seluruh bahan pewarna kulit. Kecuali terpaksa menggunakannya. Seperti menggunakan celak di mata karena untuk mengobati, bukan untuk merias. Tapi meski demikian, ia boleh menggunakan celak tersebut di waktu malam saja, sedangkan di waktu siang, ia harus menghapusnya kembali. Ia juga diperbolehkan mengobati matanya dengan selain celak, selama tidak terdapat unsur dandan dan riasan disitu.
Ketiga, haram menghias diri dengan pakaian yang memang dipersiapkan untuk hias. Ia hanya dibolehkan mengenakan pakaian-pakaian biasa yang tak ada hiasannya. Dalam hal ini tidak ditentukan warna khusus pada pakaian yang biasa dikenakannya.
Keempat, haram memakai perhiasan dengan segala jenisnya, sampai cincin sekalipun.
Kelima, haram menginap di selain rumah suami. Yaitu rumah yang ia bertempat tinggal disitu saat suami meninggal. Ia tak boleh pindah ke tempat lain, kecuali ada alasan syar`i. Ia tidak boleh keluar untuk mengunjungi orang sakit, atau mengunjungi kawan dan kerabat. Ia dibolehkan keluar pada siang hari jika ada keperluan yang sangat mendesak.
Selain kelima hal diatas, wanita bebas melakukan apa saja yang dibolehkan Allah I padanya.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Wanita dalam masa iddah tidak dilarang memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut yang disunnahkan untuk mencukurnya,[5]mandi menggunakan daun bidara, atau menyisir rambut. Itu semua boleh dilakukannya.” (Zaadul Ma`ad, 5/507)
Syaikhul Islam dalam majmu` al-fatawa berkata, “Ia boleh menyantap makanan apapun yang dihalalkan Allah I, seperti buah-buahan dan daging. Juga meminum segala jenis minuman yang halal.”
Sampai beliau berkata, “Ia juga tidak dilarang melakukan berbagai kesibukan yang halal, seperti menenun baju, menyulam, menjahit, dan kesibukan lainnya yang biasa dikerjakan wanita. Ia juga dibolehkan melakukan hal-hal yang tidak dilarang pada selain masa iddah, seperti berbicara dengan lelaki jika memang itu diperlukan, selama ia menemuinya dengan pakaian yang syar`i.
Yang saya sebutkan ini adalah Sunnah rasulullah r. Inilah yang biasa dilakukan para wanita sahabat saat ditinggal mati suaminya.” (Majmu` al-fatawa, 34/27-28)
Adapun yang diucapkan orang-orang awam, bahwa ia harus menutup wajahnya dari rembulan, tidak boleh naik ke atap rumah, tidak boleh berbicara dengan lelaki, harus menutup wajah dari para muhrimnya, dan hal-hal lain, ini semua tidak ada dasarnya. Allahu A`lam.
ISLAM TIDAK MELARANG WANITA UNTUK MENGAIS REZEKI DAN BEKERJA
Ketahuilah…
Pekerjaan asal seorang wanita berada dalam rumahnya. Ia tidak boleh keluar rumah, kecuali karena kebutuhan yang sangat mendesak. Tetapi Islam tetap membolehkan bagi wanita untuk bekerja dan mencari rezeki, jika hal itu memang diperlukan dalam kondisi-kondisi yang sangat darurat. Seperti:
(1) Jika sang suami sedang sakit. Sehingga harus berbaring di tempat tidur dalam waktu yang lama. Dan tiada seorang pun yang membantu suami dalam mengurus kebutuhan-kebutuhan keluarga.
(2) Jika sang wanita adalah wanita janda yang ditinggal mati suaminya. Sementara sang suami tidak meninggalkan harta sedikit pun untuk diri dan anak-anaknya.
(3) Atau jika wanita ini seorang dokter atau guru yang mengajar kaum wanita. Khusus kaum wanita dari jenisnya sendiri, bukan mengajar kaum laki-laki.
Tetapi ada beberapa syarat yang ditetapkan Islam dalam hal pekerjaan wanita ini. Di antaranya:
Pertama: Wanita dilarang ikhtilat (bercampur) dengan kaum laki-laki.
Kedua: Ketika keluar, hendaknya sang wanita senantiasa menetapi adab-adab yang syar`i.
Ketiga: Sang wanita tidak boleh keluar dengan menampakkan perhiasannya.
Keempat: Hendaknya pekerjaan sang wanita sangat jauh dari pandangan kaum laki-laki.
Sekarang pertanyaan kami: Apakah syarat-syarat ini sudah terpenuhi pada para wanita karir dewasa ini? Tentunya anda sudah bisa menjawabnya sendiri.
(940) Seorang wanita ditinggal mati suami. Ia harus menjalani masa iddah tetapi statusnya adalah mahasiswi pada sebuah universitas. Apakah wanita tersebut boleh melanjutkan studinya?
Jawab: Wanita yang ditinggal mati suami harus menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari di rumah suami yang wanita bertempat tinggal padanya. Ia tidak boleh bermalam kecuali di rumah tersebut.
Di samping itu ia juga wajib menghindari alat-alat kecantikan yang mempercantik diri atau membuat orang lain tertarik untuk melihatnya. Seperti celak untuk melentikkan bulu mata, pakaian-pakaian kecantikan, hiasan-hiasan tubuh, dan perkara-perkara lain yang mempercantik diri.
Ia boleh keluar pada siang hari jika ada kebutuhan untuk itu. Berdasarkan hal ini maka mahasiswi tersebut boleh keluar rumah untuk kuliah di universitas karena harus mengikuti mata kuliah dan memahaminya. Tetapi disyaratkan harus menghindari perkara-perkara yang mesti dihindari wanita dalam masa iddah. Agar tidak ada lelaki pun yang tertarik pada dirinya kemudian ingin melamarnya. (Al-Lajnah Ad-Daaimah li Al-Ifta`)
جاء في الموسوعة الفقهية الكويتية:-
أوجب الشارع على المعتدة أن تعتد في المنزل الذي يضاف إليها بالسكنى حال وقوع الفرقة أو الموت ، والبيت المضاف إليها في قوله تعالى { لا تخرجوهن من بيوتهن } هو البيت الذي تسكنه . ولا يجوز للزوج ولا لغيره إخراج المعتدة من مسكنها . وليس لها أن تخرج وإن رضي الزوج بذلك ، لأن في العدة حقا لله تعالى ، وإخراجها أو خروجها من مسكن العدة مناف للمشروع ، فلا يجوز لأحد إسقاطه .
Syariat mewajibkan wanita iddah untuk beriddah dalam rumah yang ditempatinya saat terjadi perceraian atau kematian. Sebagaimana firman Allah: “Jangan mengeluarkan mereka (para wanita dalam masa iddah) dari rumahnya.” Maksudnya adalah rumah yang ditempatinya. Tidak boleh bagi siapa pun, baik suami maupun lainnya mengeluarkan wanita dari rumah yang ditempatinya. Si wanita sendiri juga tidak boleh keluar meski sang suami meridhai. Karena dalam iddah terdapat hak Allah ta’ala. Sementara mengeluarkan wanita atau ia keluar sendiri dari rumah yang ditempati, jelas-jelas menyalahi yang disyariatkan. Maka tidak boleh bagi siapa pun menggugurkan masalah ini.
سفر الزوج بالمطلقة الرجعية:- ذهب الحنابلة وزفر من الحنفية إلى أن للزوج السفر بمطلقته الرجعية ، أما الجمهور فلا يجيزون السفر بها ؛ لأنها ليست زوجة من كل وجه ؛ ولأن الزوج مأمور بعدم إخراجها من البيت في العدة لقوله تعالى : { لا تخرجوهن من بيوتهن } . ولأن العدة قد تنقضي وهي في السفر معه فتكون مع أجنبي عنها وهذا محرم ، كل هذا إذا لم يراجعها في العدة ، أما إذا راجعها فتسافر معه لأنها زوجة له .انتهى.
Adapun safarnya suami dengan wanita yang ditalak raj’i: Maka Al-Hanabilah dan Zufar dari Hanafiyah berpendapat bahwa suami boleh membawa safar istrinya yang ditalak raj’i. Adapun jumhur ulama’ maka melarang suami, safar dengan si istri tersebut. Karena wanita ini -dalam posisi ini- bukan sebagai istri dari sisi mana pun. Di sisi lain, suami diperintah untuk tidak mengeluarkan wanita dari rumahnya saat iddah. Berdasarkan firman Allah:“Jangan mengeluarkan mereka (para wanita dalam iddah) dari rumahnya.” Di sisi lain masa iddah bisa saja habis saat safar itu. Kalau habis saat safar maka sang suami telah safar dengan wanita asing. Dan ini perkara yang jelas haram. Ini semua haram dilakukan jika suami tidak merujuk istri dalam masa iddah. Adapun jika sudah merujuknya kemudian diajak safar maka tidak menjadi masalah karena sudah menjadi istrinya kembali.
وجاء في موضع آخر من الموسوعة الفقهية:-
ذهب الحنفية والشافعية إلى أن المطلقة الرجعية لا يجوز لها الخروج من مسكن العدة لا ليلا ولا نهارا واستدلوا على ذلك بقوله تعالى : { لا تخرجوهن من بيوتهن ولا يخرجن . . . } إلخ . فقد نهى الله تعالى الأزواج عن الإخراج والمعتدات عن الخروج ، إلا إذا ارتكبن فاحشة ، أي : الزنا وبقوله تعالى : { أسكنوهن من حيث سكنتم } والأمر بالإسكان نهي عن الإخراج والخروج .
Hanafiyah dan Syafiiyahh berpendapat bahwa wanita yang ditalak raj’i tidak boleh keluar dari rumah iddahnya baik malam atau siang. Mereka berdalil dengan firman Allah:“Jangan mengeluarkan mereka (para wanita dalam masa iddah) dari rumahnya dan janganlah mereka keluar.” (QS. Ath-Thalaq: 1) Pada ayat ini Allah melarang para suami mengeluarkan para wanita yang beriddah dari rumahnya dan melarang para wanita yang beriddah untuk keluar secara sendirinya (tanpa perintah). Kecuali jika para wanita itu melakukan perbuatan keji seperti zina. Juga berdasarkan firman Allah yang lain: Tempat tinggalkan mereka di tempat kalian bertempat tinggal.” (Ath-Thalaq: 6) Perintah untuk menempatkan para wanita dalam rumahnya adalah larangan kepada mereka untuk dikeluarkan atau keluar dengan sendirinya.
قال النووي : إن كانت رجعية فهي زوجته ، فعليه القيام بكفايتها ، فلا تخرج إلا بإذنه .
An-Nawawi rahimahullah berkata: Jika talaknya raj’i maka sang wanita statusnya masih istri. Sehingga suami wajib mencukupi kebutuhannya dan wanita ini tidak keluar kecuali dengan izinnya.
وخالف المالكية والحنابلة فقالوا بجواز خروج المطلقة الرجعية نهارا لقضاء حوائجها ، وتلزم منزلها بالليل لأنه مظنة الفساد ، واستدلوا بحديث { جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال : طلقت خالتي ثلاثا ، فخرجت تجد نخلا لها ، فلقيها رجل فنهاها ، فأتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت ذلك له ، فقال لها : اخرجي فجدي نخلك لعلك أن تصدقي منه أو تفعلي خيرا } .
Tetapi Malikiyah dan Hanabilah menyalahi pendapat di atas. Mereka mengatakan: Wanita yang ditalak raj’i boleh keluar pada waktu siang untuk memenuhi kebutuhannya. Namun tetap wajib menetap dalam rumahnya pada waktu malam. Karena malam adalah penyebab timbulnya banyak kerusakan. Mereka berdalil dengan Hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma dia berkata: Bibiku ditalak tiga kali. Maka dia keluar untuk merawat kebun kurmanya. Kemudian ia berjumpa seorang lelaki dan melarangnya dari tindakan itu. Maka bibiku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan menceritakan hal itu kepada beliau. Rasulullah berkata kepadanya: “keluarlah! Rawat kebun kurmamu. Barangkali kamu bisa bersadaqah darinya atau melakukan kebaikan yang lain.”
وصرح المالكية بأن خروج المعتدة لقضاء حوائجها يجوز لها في الأوقات المأمونة وذلك يختلف باختلاف البلاد والأزمنة ، ففي الأمصار وسط النهار ، وفي غيرها في طرفي النهار ، ولكن لا تبيت إلا في مسكنها. والله أعلم .
Malikiyah menegaskan bahwa wanita iddah boleh keluar untuk memenuhi kebutuhannya pada waktu-waktu yang aman. Dan ini berbeda-beda sesuai dengan waktu dan kondisi tiap Negara. Pada satu Negara waktu yang aman adalah pertengahan siang, sementara di tempat lain yang aman adalah pagi dan sorenya. Namun tetap ia tidak boleh bermalam kecuali di rumah tempat tinggalnya. Allahu a’lam.
[1] Yaitu; tidak menjalani masa iddah, dan kemudian disetubuhi lelaki lain.
[2] Tidak diketahui dengan jelas siapa bapaknya.
[3]Talak raj`I adalah kembalinya isteri kepada suami semula, setelah adanya talak yang bukan ba`in. Jadi seorang suami, jika mentalak isterinya, satu atau dua talak, ia masih berhak untuk kembali kepada isteri tersebut sebelum habis masa iddahnya. Jika masa iddahnya sudah habis, dan ia ingin kembali kepada isteri tersebut, ia harus menikahinya kembali. Dan bagi suami masih ada sisa satu talak lagi. (Lihat, Kifayatul Akhyar karya Taqiyuddin Al-Husaini, 2/86)
[4]Selain talak raj`I ada talak ba`in. Talak ba`in adalah jika suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali. Sehingga sang suami haram kembali kepada isterinya kecuali setelah terjadi lima hal: 1-Habisnya masa iddah isteri dari suami pertama. 2-Isteri menikah lagi dengan lelaki lain. 3-Isteri sudah disetubuhi oleh suami yang baru (kedua). 4-Isteri ditalak bain oleh suami yang kedua itu. 5-Habisnya masa iddah isteri dari suami yang kedua. Setelah kelima perkara ini baru dibolehkan bagi suami pertama untuk menikahi isterinya lagi. (lihat kifayatul Akhyar, 2/87)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar