UMUMNYA orang
memahami masa depan hanya sebatas usia tua. Tidak heran jika banyak
orang mati-matian mengumpulkan uang sejak muda dengan harapan hidup
berlimpah harta di masa tuanya. Bahkan, kalau perlu kekuasaan tetap
berada di tangan keturunannya.
Sekiranya, cara mendapatkannya halal, tentu tidak mengapa.
Persoalannya adalah ketika pengumpulan harta itu dilakukan dengan
cara-cara curang dan haram. Tentu ini suatu kecelakaan besar. Jangankan
di akhirat, di masa tua di dunia pun pasti akan sengsara. Lihatlah nasib
Fir’aun, Haman, Qarun, Namrudz dan yang lainnya. Seperti jamak diketahui, sekarang ini demi sebuah posisi atau
jabatan, sebagian orang sangat mudah berjanji dan sering tidak
menepatinya tanpa sedikitpun ada penyesalan. Lain di bibir lain di hati.
Di depan orang bertindak seperti orang baik, di belakang sering
mengabaikan perintah agama. Gemar sekali bermaksiat, menipu,
menggunjing, dan menebar berita yang tidak jelas kebenarannya. Termasuk
tidak segan-segan memfitnah saudara sendiri jika dianggap menghambat
perjalanan karir atau mengancam posisinya. Sementara itu, tradisi yang
dibangun setiap hari dan malamnya hanyalah ke kafe, hotel, dugem, dan
pesta-pesta tiada henti. “Semua itu demi masa depan,” dalihnya.
Padahal, mengacu pada sumber hadits Nabi, di akhirat nanti, setiap
manusia harus melintasi yang namanya shirath (jembatan) yang menjadi
penentu nasib setiap jiwa bisa masuk surga atau terjun ke neraka. Oleh
karena itu, Ibn Athaillah sangat heran kepada tingkah laku kebanyakan
manusia yang heboh mengejar dunia dan tertawa-tawa seolah telah peroleh
kebahagiaan akhirat. Di depan manusia bertingkah laku baik, di belakang
sering melupakan aturan Allah.
Melintasi Shirath
Dalam kitabnya Tajul Arus, Ibn Athaillah berkata, “Kau
tertawa terbahak-bahak seakan-akan telah melewati jembatan (shirath) dan
menyeberangi neraka. Jika kau tidak menjaga sikap wara’ kepada Allah
yang bisa mencegah dari maksiat ketika sendiri, taburkan tanah ke atas
kepala sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Barangsiapa
tidak memiliki sikap wara’ yang bisa mencegahnya dari maksiat ketika
sendiri, Allah sama sekali tidak akan memedulikan amalnya.” (HR. Al-Daylami).
Shirath sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi adalah
jembatan di atas Jahannam. Dalam shahih Bukhari Muslim disebutkan,
“Jembatan Jahannam dibentangkan dan aku yang pertama kali melewatinya.
Doa para rasul ketika itu adalah: ‘Ya Allah, selamatkan!’Pada jembatan itu terdapat jangkar-jangkar seperti duri sa’dan.
Tahukah kalian, apakah duri sa’dan itu? Para sahabat menjawab, ya.Beliau melanjutkan, “Ia bagaikan duri sa’dan, hanya saja tidak ada
yang mengetahui besarnya kecuali Allah. Ia akan menarik manusia sesuai
dengan amal perbuatan mereka. ada yang selamat ada pula yang merangkak
kemudian selamat.” (HR. Bukhari).
Jadi, satu hal yang mestinya menjadi perhatian setiap orang beriman
adalah bagaimana kira-kira nasibnya di akhirat nanti, terutama ketika
harus melewati shirath. Karena shirath ini adalah media penentu dari Allah seseorang masuk surga atau terjungkal ke dalam neraka.
Sungguh,
kita tidak pernah bisa mengetahui, apalagi memastikan, apakah amal yang
kita lakukan termasuk amal yang diterima, jiwa kita adalah jiwa yang
takwa, atau justru masuk kelompok manusia yang celaka.Oleh karena itu, kita patut bertanya dalam diri, sebagaimana Hasan
bin Ali radhiyallahu anhu berkata, “Aku takut ketika sebagian dosaku
terlihat kemudian Allah berkata, ‘Dosamu tidak diampuni.”
Rasa
depan manusia yang harus menyeberangi shirath itulah yang kemudian
mendorong Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, tentu kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis,” (HR. Bukhari).Artinya, kita harus benar-benar mengimani hari akhir, dengan
bersegera melakukan segala amal sholeh dan menjauhi perbuatan yang
merusak. Berlomba-lomba menyiapkan bekal takwa menuju Allah agar kelak
mendapat rahmat dari-Nya dan bisa menyeberang di atas shirath dengan
selamat hingga ke surga.
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Firman-Nya tentang Hari Esok (QS. Al Hasyr [59]: 20).
Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut menyebutkan riwayat yang
disampaikan oleh Imam Ahmad dari Al-Mundzir bin Jabir, yang secara inti
memaparkan pengalaman Rasulullah melihat suku Mudhar yang sangat miskin,
hingga tak beralas kaki dan tidak berpakaian.
Melihat hal tersebut, kemudian Rasulullah berkhutbah, “Wahai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan
kalian dari jiwa yang satu (sampai akhir ayat). Lau beliau membaca ayat
tersebut hingga tuntas, kemudian menambahkan, ‘…meskipun hanya dengan
satu belah kurma.”
Mendengar khutbah itu, seorang sahabat Anshar datang membawa satu
kantong, hampir saja telapak tangannya tidak mampu mengangkatnya, bahkan
memang tidak mampu. Lalu orang-orang pun mengikuti sehingga aku melihat
dua tumpukan dari makanan dan pakaian, sehingga aku melihat wajah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam berseri-seri bagaikan disepuh
emas.
Maka, menurut Ibn Katsir hari esok itu atau masa depan itu
hanya tepat jika kita persiapkan dengan banyak beramal sholeh, bersegera
membantu saudara yang lain yang sangat berhajat terhadap kebutuhan
hidup, walau hanya dengan separuh biji kurma. Kemudian menjauhi seluruh
bentuk larangan-Nya. Dengan demikian perbanyaklah intropeksi diri (muhasabah). Lihatlah
apa yang telah kita tabung untuk akhirat kita sendiri utamanya ketika
bertemu dengan Rabb kita semua. Jangan sampai kita lupakan hal yang
sebenarnya tidak lama lagi akan kita jumpai dalam perjalanan panjang
kehidupan akhirat.
Mulai sekarang, berhentilah bergantung pada harta, jabatan, dan
kekuasaan. Semua itu tidak akan berarti apa-apa tanpa iman, takwa dan
amal sholeh. Justru siapapun kita, pada dasarnya sangat berpotensi
mendapatkan masa depan yang baik bahkan sangat-sangat baik, asalkan,
senantiasa menjaga dan meningkatkan kualitas takwa kepada-Nya dan banyak
melakukan amal sholeh untuk kemaslahatan bersama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar