Jika ada seorang perempuan yang ingin menikah, tapi tak disetujui oleh
walinya dengan berbagai alasan, misal calon suaminya orang miskin, dll.
Bolehkah perempuan tersebut menikah dengan wali hakim?
Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah
alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang
dibenarkan oleh hukum syara’. Misal anak gadis wali tersebut sudah
dilamar orang lain, atau calon suaminya adalah orang kafir, atau
mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan
sebagainya. Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan
alasan syar’i seperti ini, wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak
berpindah kepada pihak lain ( wali hakim ) ( HSA Alhamdani, Risalah Nikah, hal. 90-91 ).
Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi
seperti ini, maka akad nikahnya tidak sah, meski dinikahkan oleh wali
hakim. Sebab hak kewaliannya tidak berpindah kepada wali hakim. Jadi
perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak
sah. Sabda Rasulullah SAW, “Tidak [ sah ] nikah kecuali dengan wali.” (
HR. Ahmad; Subulus Salam, III/117 ).
Namun adakalanya wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak
syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon
suaminya bukan dari bangsa yang sama, bukan dari suku yang sama, orang
miskin, bukan sarjana, dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang
tidak ada dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan
syar’i. Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang
tidak syar’i seperti ini, maka wali tersebut disebut wali ‘adhal,
yaitu wali yang tidak mau menikahkan perempuan yang diwalinya jika ia
telah menuntut nikah. Perbuatan ini adalah haram dan pelakunya ( wali )
adalah orang fasik sesuai QS Al-Baqarah : 232.
( Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 116 ).
Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak kewaliannya berpindah kepada wali hakim ( Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33 ). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “… jika
mereka [ wali ] berselisih / bertengkar [ tidak mau menikahkan] , maka
penguasa (as-sulthan) adalah wali bagi orang [ perempuan ] yang tidak
punya wali.” ( fa in isytajaruu fa as-sulthaanu waliyyu man laa waliyya
lahaa ) ( HR. Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa`i. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, Subulus Salam, III/118 ).
Yang dimaksud dengan wali hakim, adalah orang yang memegang kekuasaan ( penguasa ), baik ia dzalim atau adil ( man ilayhi al-amru, jaa`iran kaana aw ‘aadilan ) . ( Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam II/118
). Maka dari itu, penguasa saat ini walaupun dzalim, karena tidak
menjalankan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, tetap sah menjadi wali hakim, selama tetap menjalankan
hukum-hukum syara’ dalam urusan pernikahan.
Wallahu a’lam.■
Tidak ada komentar:
Posting Komentar