Pentingnya saling tolong menolong dalam Kebaikan
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا
عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya
[al-Mâidah/5:2]
Makna al-birru (الْبِرِّ ) dan at-taqwa (التَّقْوَى )
Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat.Karena masing-masing menjadi bagian dari yang lainnya.
Secara sederhana, al-birru (الْبِرِّ ) bermakna kebaikan. Kebaikan
dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan
ragamnya yang telah dipaparkan oleh syariat.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikan bahwa al-birru adalah
satu kata bagi seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut
dari seorang hamba. Lawan katanya al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah
satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi
sebab seorang hamba sangat dicela apabila melakukannya.
Tidak jauh berbeda, Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa
al-birru adalah sebuah nama yang mencakup segala yang Allah Azza wa
Jalla cintai dan ridhai, berupa perbuatan-perbuatan yang zhâhir maupun
batin, yang berhubungan dengan hak Allah Azza wa Jalla atau hak sesama
manusia.
Dari sini dapat diketahui, bahwa termasuk dalam cakupan al-birru, keimanan dan cabang-cabangnya, demikian pula ketakwaan.
Allah Azza wa Jalla telah menghimpun ragam al-birru (kebaikan, kebajikan) dalam ayat berikut:
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ
عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى
الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ
فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ
صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang
yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat,
dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa. [al-Baqarah/2:177]
Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di atas mencakup seluruh
unsur agama Islam; prinsip-prinsip keimanan, penegakan syariat seperti
mendirikan shalat, membayar zakat dan infak kepada orang yang
membutuhkan dan amalan hati seperti bersabar dan menepati janji.
Dalam ayat ini, setelah memberitahukan ragam kebaikan, di penghujung
ayat, Allah Azza wa Jalla menjelaskan itulah bentuk-bentuk ketakwaan
(sifat-sifat kaum muttaqîn).
Adapun hakikat ketakwaan yaitu melakukan ketaatan kepada Allah Azza
wa Jalla dengan penuh keimanan dan mengharap pahala; baik yang berupa
perintah ataupun larangan. Kemudian perintah itu dilaksanakan atas dasar
keimanan dengan perintah dan keyakinan akan janji-Nya, dan larangan
ditinggalkan berlandaskan keimanan terhadap larangan tersebut dan dan
takut akan ancaman-Nya.
Thalq bin Habîb rahimahullah, seorang Ulama dari kalangan generasi
Tâbi’în berkata:” Apabila terjadi fitnah maka bendunglah dengan takwa”.
Mereka berkata:” Apa yang dimaksud dengan takwa?”. Beliau menjawab:”
Hendaknya engkau melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan
dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan mengharap pahala-Nya. Dan
engkau tinggalkan maksiat dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla
dan takut terhadap siksa-Nya”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memuji keterangan di atas dengan
mengatakan
Ini merupakan definisi takwa yang paling bagus. Beliau
menjelaskan, bahwa semua amalan memiliki permulaan dan tujuan akhir.
Satu amalan tidaklah dianggap sebagai bentuk ketaatan dan ibadah yang
mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla kecuali apabila bersumber
dari keimanan. Artinya dorongan utama melakukan amalan tersebut adalah
keimanan bukan kebiasaan, mengikuti hawa nafsu atau keinginan untuk
mendapatkan pujian dan kedudukan. Jadi, permulaannya adalah keimanan dan
tujuan akhirnya adalah meraih pahala dari Allah Azza wa Jalla serta
mengharap keridhaan-Nya atau yang disebut dengan ihtisâb. Oleh karena
itu, banyak kita dapatkan kata iman dan ihtisâb datang secara bersamaan
seperti contoh berikut:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang puasa ramadhan dengan penuh keimanan (iman) dan
mengharap pahala (ihtisâb), maka diampuni semua dosanya yang telah
lewat.[HR. al-Bukhâri Muslim].
Faedah:
Ulama mengatakan bahwa penggabungan kata al-birr dan at-taqwa dalam satu
tempat (seperti ayat di atas) mengandung pengertian yang berbeda satu
sama lain. Dalam konteks ini, al-birr bermaka semua hal yang dicintai
Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, lahir dan
batin. Sementara at-taqwa lebih mengarah kepada tindakan menjauhi segala
yang diharamkan [al-Qawâid al-Hisân, Syaikh as-Sa’di, hlm. 48]
Makna al-itsmu (إئْمُ ) dan al-’udwân ( الْعُدْوَانُ)
Pada dasarnya, pengertian antara al-birru dan at-taqwa, al-itsmu dan
al-’udwân terikat pada hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu
mengandung pengertian kata lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan
bentuk ‘udwân (tindakan melampaui batas) terhadap ketentuan Allah Azza
wa Jalla, yang berupa larangan atau perintah. Dan setiap tindakan
‘udwân, pelakunya berdosa.
Namun bila keduanya disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian yang berbeda dengan yang lainnya.
Al-itsmu (dosa) berkaitan dengan perbuatanperbuatan yang memang
hukumnya haram. Contohnya, berdusta, zina, mencuri, minum khamer dan
lainnya. Contoh-contoh di atas merupakan perbuatan yang pada asalnya
haram.
Sehubungan dengan al-’udwân, kata ini lebih mengarah pada suatu
pengharaman yang disebabkan oleh tindakan melampaui batas. Apabila tidak
terjadi tindakan melampaui batas, maka diperbolehkan (halal).
Tindakan melampaui batas terbagi dua, pertama: terhadap Allah Azza wa
Jalla, seperti melampaui batas ketentuan Allah Azza wa Jalla dalam
pernikahan seperti : memiliki lima istri, atau menyetubuhi istri dalam
masa haidh, nifas, masa ihram atau puasa wajib.
Dan kedua: Tindakan melampaui batas terhadap sesama. Contohnya,
bertindak kelewat batas terhadap orang yang berhutang, dengan menciderai
kehormatan, fisik atau mengambil lebih dari seharusnya.
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya yang beriman
untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan itulah yang disebut
dengan albirr dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan ketakwaan. Dan
Dia Azza wa Jalla melarang mereka saling mendukung kebatilan dan
bekerjasama dalam perbuatan dosa dan perkara haram.Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menilai ayat di atas memiliki urgensi
tersendiri. Beliau menyatakan: Ayat yang mulia ini mencakup semua jenis
bagi kemaslahatan para hamba, di dunia maupun akhirat, baik antara
mereka dengan sesama, ataupun dengan Rabbnya. Sebab seseorang tidak
luput dari dua kewajiban; kewajiban individualnya terhadap Allah Azza wa
Jalla dan kewajiban sosialnya terhadap sesamanya.
Selanjutnya, beliau memaparkan bahwa hubungan seseorang dengan sesama
dapat terlukis pada jalinan pergaulan, saling menolong dan
persahabatan. Hubungan itu wajib terjalin dalam rangka mengharap ridha
Allah Azza wa Jalla dan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Itulah puncak
kebahagiaan seorang hamba. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan
mewujudkan hal tersebut, dan itulah kebaikan serta ketakwaan yang
merupakan inti dari agama ini.Al-Mâwardi rahimahullah berkata: Allah Azza wa Jalla mengajak untuk
tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan dengan ketakwaan
kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah Azza wa Jalla.
Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai (meridhai).
Barang siapa memadukan antara ridha Allah Azza wa Jalla dan ridha
manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya
sudah melimpah.
Sebagai contoh sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْصُر أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظلُو مًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
هَذَا نَنصُرًُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالََ تَأْخُذُ
فَوْقَ يَدَيْهِ
Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau
sedang teraniaya. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan
menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang
berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan
kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.” [HR. al-Bukhâri]
Dalam hadits lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّالُ عَلَى الْخَيْرِ كَفَا عِلِهِ
Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya. [HR. Muslim]
Orang berilmu membantu orang lain dengan ilmunya. Orang kaya membantu
dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan
dalam membantu orang yang membutuhkan. Jadi, seorang Mukmin setelah
mengerjakan suatu amal shalih, berkewajiban membantu orang lain dengan
ucapan atau tindakan yang memacu semangat orang lain untuk beramal.
Hubungan kedua, antara seorang hamba dengan Rabbnya tertuang dalam
perintah ‘Dan bertakwalah kamu kepada Allah’. Dalam hubungan ini,
seorang hamba harus lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya dan
menjauhi perbuatan untuk yang menentangnya.
Kewajiban pertama (antara seorang hamba dengan sesama) akan tercapai
dengan mencurahkan nasehat, perbuatan baik dan perhatian terhadap
perkara ini. Dan kewajiban kedua (antara seorang hamba dengan Rabbnya),
akan terwujud melalui menjalankan hak tersebut dengan ikhlas, cinta dan
penuh pengabdian kepada-Nya.
Hendaknya ini dipahami bahwa sebab kepincangan yang terjadi pada
seorang hamba dalam menjalankan dua hak ini, hanya muncul ketika dia
tidak memperhatikannya, baik secara pemahaman maupun pengamalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar