Semakin
kuat mereka menutupi cahaya hakikat-hakikat Al-Quran, semakin kuat juga
pancaran cahayanya keluar dari sela jari-jemari mereka. Semakin kuat
mereka membendung arus kebenarannya, semakin kuat pula arusnya
menghantam dinding-dinding keyakinan dan filsafat hidup mereka. Yah,
sejak hari pertama Al-Quran turun hingga kini, ia senantiasa terjaga dan
menjaga siapa saja dari mereka yang ingin mendekatkan dirinya di
benteng keimanan penjagaannya, seperti jaminan Allah yang ditegaskan
dengan begitu jelas dan kuatnya.
Sebelum
Anda terlalu jauh diajak melihat sisi-sisi keistimewaan mukjizat
Al-Quran, Anda diminta melihat buah pikir mereka yang ingin melucuti
Al-Quran dari kemukjizatan estetika dan sistematikanya.
Yang
diyakini bersama, Al-Quran dikatakan mukjizat karena tidak mampu
ditandingi oleh para ahli sastra dan ilmuwan untuk mendatangkan Qur’an
tandingan yang mampu menyamai atau menyaingi derajat keindahan dan
ketinggian bahasa Al-Quran, kitab penyejuk kalbu umat dari segala
penyakit maknawi yang merongrong kekuatan iman dalam menahkodai
kehidupan.
Yang menjadi pertanyaan, kekuatan maknawi
Al-Quran ini, apakah lahir dari zat Al-Quran sendiri atau mungkin saja
ada faktor lain yang datang dari luar zat Al-Quran sehingga mereka
tersungkur lemah mengakui kekalahan di medan tanding tersebut? Seseorang
dikatakan punya kekuatan luar biasa jika terlihat otot-otot tubuhnya
bekerja terpadu dan berirama menciptakan energi, dan tentu mustahil,
bahkan jadi bahan tertawa, jika kekuatan luar biasa itu Anda kembalikan
ke orang lain yang hanya diam melihat terpaku kekuatan tersebut. Olehnya
itu, di saat Abu Izhaq An-Nadzzam Ibrahim bin Yasar, salah satu imam
Mu’tazilah, pendiri jamaah An-Nidzamiyyah, lebih menitikberatkan
kemukjizatan Al-Quran pada ayat-ayat gaib, dan mengabaikan estetika dan
sistematika Al-Quran sebagai salah satu corak kemukjizatan yang paling
nampak dan terang dengan alasan bahwa manusia mampu mencapai tingkat
kemukjizatan sistematika tersebut, seandainya Allah tidak mengangkat
dari mereka kemampuan tanding, di saat An-Nadzzam menyatakan demikian,
dengan mudah para pecinta Al-Quran dari ahli tahkik menolak pernyataan
ini. Yang demikian itu karena Abu Izhaq an-Nadzam menyalahi kesepakatan
ahli ilmu-ilmu Al-Quran yang mengembalikan kemukjizatan Al-Quran ke
zatnya sendiri.
Berikut ini perkataan An-Nadzzam sebelum memberikan jawaban meyakinkan yang kedua kalinya, beliau berkata:
“Keajaiban Al-Quran terletak di berita-berita ghaibnya.
Adapun susunan dan sistematikanya masih dalam batas kemampuan hamba
untuk meniru dan menandinginya, seandainya saja Allah SWT tidak mencegah
mereka dengan menciptakan kelemahan dalam diri mereka.”([1])
Lanjutnya, beliau mempertegas pernyataannya dengan mengatakan:
“Sistematika
Al-Quran dan keindahan penempatan kalimatnya bukanlah mukjizat
Rasulullah Saw, dan bukan bukti atas kebenaran dakwahnya, tetapi, yang
menjadi bukti kebenarannya adalah ayat-ayat gaib. Sekali lagi,
sistematika Al-Quran dan keindahan rangkaian ayat-ayatnya bukanlah
mukjizat, sesungguhnya hamba-hamba Allah mampu mendatangkan yang serupa
dengannya, bahkan yang lebih indah darinya.”([2])
Setelah
Anda mengetahui salah satu sisi kelemahan pernyataan ini, Anda diajak
yang kedua kalinya mengetahui titik lain dari kelemahan dan
kerapuhannya. Kesimpulan ini roboh dan runtuh karena mengerucutkan
kemukjizatan Al-Quran pada ayat-ayat gaib dan menjatuhkan dari ayat-ayat
lain corak-corak kemukjizatan, seperti: kemukjizatan ayat-ayat hukum,
ayat-ayat ilmiah yang mengisyaratkan hakikat-hakikat ilmu pengetahuan,
ayat-ayat akhlak social, dan kemukjizatan sistematikanya yang memukau.
Di samping itu, ayat-ayat gaib jumlahnya tidak terlalu banyak dilihat
dari jumlah ayat-ayat lain Al-Quran.([3])
Bukan
hanya itu, penulis pun menangkap kelemahan lain pernyataan tersebut.
Yang demikian itu karena seandainya kemukjizatan sistematika Al-Quran
datang dari kelemahan yang Allah ciptakan dalam diri mereka, kenapa
Allah menantang mereka dengan begitu terangnya untuk mendatangkan Qur’an
serupa yang mendekati atau menyamai tingkat keindahan estetika dan
sistematikanya, seperti di Q.S Al-Baqarah [2]: 23? Tentunya, aneh dan
mustahil jika Allah menantang mereka dengan tantangan seperti itu,
kemudian mencabut dari mereka kekuatan tantangan yang dapat memberikan
tandingan. Bukankah itu pekerjaan sia-sia yang Allah Maha Suci darinya?
Kini,
saya mengajak Anda melihat penegasan kemukjizatan estetika dan
sistematika Al-Quran yang diingkari kebenarannya oleh An-Nadzzam.
Al-Jahidz berkata:
“Di
antara mereka ada yang menggunakan kata-kata bukan pada tempatnya,
sementara itu, di sana ada kata lain yang lebih tepat darinya. Apakah
Anda tidak melihat Allah tidak dijumpai menyebutkan di Al-Quran kata (الجُوْع)
kecuali untuk memaknai azab penyiksaan yang menimpa orang-orang kafir,
atau untuk mewakili makna kefakiran yang melilit dan kelemahan mutlak.
Sementara itu, manusia menempatkannya bukan pada tempatnya, mereka
menggunakan kata ini dan bukan kata (السّغَب) di kondisi
aman dan kuat. Bukankah ini menyalahi penempatan kata yang semestinya,
seperti penempatan kata Al-Quran yang tepat. Demikian pula dengan kata (المَطَر)
yang berarti hujan. Al-Quran tidak menyebutkannya kecuali ditempatkan
di makna azab penyiksaan, sementara itu, orang awam bahkan masyarakat
berpendidikan tidak membedakan penggunaan kata itu dengan kata (الغَيْث) yang berarti hujan yang membawa rahmat, bukan hujan azab. Kemudian, Al-Quran jika menyebut (الأبْصَار) yang berarti penglihatan, ia menyebut pendengaran dalam bentuk tunggal (السَّمْع), dan jika menyebut tujuh lapisan langit (سَبْعُ سَماَوَات), ia menyebut bumi dengan bentuk tunggal (الأرْض).
Apakah Anda tidak melihat perbedaan ini, bahasa manusia yang menyalahi
bahasa Al-Quran yang tidak menempatkan kata, kecuali kata itu tepat
mewakili makna yang diinginkan dan tidak dapat diganti dengan kata
lain?”([4])
Hematnya,
Al-Quran tidak memilih kata tertentu dalam mewakili sebuah pemaknaan,
kecuali hanya kata itulah yang tepat ditempatkan. Yang demikian itu
karena hanya kata itu yang mampu menjaga keutuhan makna bagian-bagian
sistematika Al-Quran. Keutuhan makna yang mengalir hidup di seluruh
bagian sistematika Al-Quran, dari kalimat ke kalimat, dari kelompok ayat
ke kelompok ayat lain, dari tema ke tema, dari surah ke surah, seperti
aliran darah yang tidak henti-hentinya mengalir di sel-sel darah
manusia.
Anda dapat melihat penegasan makna tersebut di pernyataan Syekh Ibn Atiyyah berikut ini:
“Sisi
terkuat tantangan Al-Quran adalah sistematika, keshahihan makna, dan
kefasihan kosa katanya. Yang demikian itu karena ilmu Allah meliputi
segala sesuatu. Allah mengetahui kata mana yang tepat untuk datang
menyertai kata pertama dalam merangkai makna demi makna dari awal
Al-Quran hingga akhir. Dan karena manusia dengan keterbatasan,
kebodohan, lupa, dan kelemahan ilmunya meliputi segala sesuatu,
sementara itu, sistematika Al-Quran datang dengan derajat estetika yang
tinggi menjulang, sehingga jelas kesalahan perkataan mereka:
(orang-orang Arab mampu mendatangkan yang serupa dengan Al-Quran, namun
kekuatan mereka dicabut, sehingga mereka lemah tidak berdaya menandingi
Al-Quran).
Yang benarnya, tidak ada satu pun yang
mampu mendatangkan Qur’an tandingan. Yang demikian itu jika Anda
meyakini kelemahan mutlak manusia tanpa terkecuali dan melihat bagaimana
orang fasih menyusun khutbah atau bait syair dengan sekuat tenaga,
kemudian ia senantiasa memperbaiki bagian-bagiannya setahun penuh,
kemudian Anda menyodorkannya ke yang lain dan ia pun masih mengoreksi
dan memperbaiki, dan begitulah seterusnya. Adapun Al-Quran, perbedaannya
sangat jauh dengan kreasi-kreasi sastra manusia. Jika Anda ingin
membuang satu kata dari ayat-ayatnya dan menggantinya dengan kata lain,
yakinlah Anda tidak akan menemukan kata lain yang lebih tepat darinya
dilihat dari sistematika pemaknaan yang ada.”([5])
Ini pun dapat Anda simak di pernyataan Dr. Mustafa Muslim berikut ini:
“Setiap kata dalam sebuah struktur kalimat saling menyesuaikan diri,
Semuanya memberikan kadar tertentu terhadap makna umum dari kalimat
tersebut. Olehnya itu, jika makna yang diinginkan baru dan asing dari
yang lumrah diketahui, maka katanya pun kedengaran asing dan tidak
lumrah, dan apabila makna yang diinginkan lumrah, dia pun mendatangkan
kata yang sesuai.”([6])
Akurasi deskripsi ini dapat dilihat dalam penafsiran Ustadz Nursi pada firman Allah SWT:
وقَالَ تَعَالَى: )يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ( (Q.S. Al-Baqarah [2]: 19)
“Al-Qur’an datang dengan kata (يَجْعَلُوْنَ), bukan dengan (يُدْخِلُوْنَ),
sebagai isyarat bahwa sesungguhnya orang-orang kafir senantiasa mencari
sebab keselamatan, tidak ada satu sebab keselamatan yang mereka kira,
kecuali pintunya diketuk.
Selanjutnya, kata (أَصَابِعَهُمْ), dan bukan dengan (أَنَامِلَهُمْ), sebagai tanda bahwa mereka diliputi kebingungan yang dahsyat terhadap perkara diri mereka sendiri.
Lain halnya dengan kata (فِىْ آذَانِهِمْ)
dan bukan anggota tubuh lain, sebagai gambaran hidup yang
memperlihatkan ketakutan mereka yang berlebihan setiap kali mendengar
suara guntur, ketakutan jiwa yang melihat gemuruh suara tersebut seperti
punya kemampuan menerbangkan ruh mereka lewat mulut, jika ia masuk di
gendang telinga.
Adapun kata (مِنَ الصَّوّاعِق),
dan bukan kata lain, sebagai isyarat bahwa antara petir dan guntur
bersatu padu memberikan mudarat kepada mereka. Yang demikian itu karena
kata (الصَّاعِقَة) itu sendiri artinya gemuruh suara yang disertai dengan api yang menghanguskan apa saja yang diterpainya.
Selanjutnya, kata (حَذَرَ المَوْت)
mengisyaratkan dahsyatnya musibah yang melanda mereka, dan mereka tidak
melakukan semua itu, kecuali takut mati dan ingin keselamatan belaka.”([7])
Satu lagi contoh yang tentunya akan menambah keyakinan Anda terhadap
kemukjizatan sistematika dan estetika Al-Quran dalam memberikan
pemaknaan, contoh yang disebutkan Ustadz Nursi berikut ini di firman
Allah:
وقَالَ تَعَالَى ذِكْرُهُ: )وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ( (Q.S. Al-Baqarah [2]: 3)
“Jumlah kalimat ini mengisyaratkan 5 syarat dalam pelaksanaan sedekah, ini terpancar dari setiap bagian kalimat tersebut:
Syarat pertama terilhami dari huruf (مِن) at-Tab’idiyyah ([8]) pada kalimat (مِمَّا),
artinya: hendaknya para pemberi sedekah tidak melampaui batas kemampuan
mereka dalam bersedekah, sehingga nantinya mereka sendiri yang
mengulurkan tangan minta sedekah.
Syarat kedua terwujud dari kata (رَزقنْاَهُم),
artinya: yang bersedekah tidak mengambil rezeki Said, dan
menyedekahkannya ke Amru. Akan tetapi, yang wajib sedekah itu
dikeluarkan dari hartanya sendiri, seperti makna yang diserukan kata itu
sendiri: “Sedekahkanlah sebagian dari apa yang kami telah rezekikan
kepada kalian!”
Syarat ketiga tersirat pada kata (نَا) di (رَزَقْنَاهُم),
artinya: hendaknya yang bersedekah jangan menghitung kebaikannya karena
kata itu menegaskan: “Pada hakikatnya, kamu tidak punya pemberian
apa-apa terhadap mereka di sedekah tersebut. Saya yang telah memberi
kamu rezeki. Apa yang kamu sedekahkan itu sebagian dari harta-Ku kepada
hamba-Ku sendiri.”
Syarat keempat terlihat di (يُنْفِقُوْن),
artinya: hendaknya yang bersedekah menyedekahkan hartanya kepada mereka
yang benar-benar butuh, karena jika tidak seperti itu, sedekah yang
dikeluarkan bukan pada tempatnya tidak diterima di sisi-Nya.
Syarat kelima terukir juga di (رَزَقْنَاهُم),
artinya: hendaknya sedekah dengan nama Allah SWT, karena kata itu
menyiratkan: “Harta itu harta-Ku, maka wajib atas kamu menafkahkannya
dengan atas nama-Ku.”
Selain kelima syarat sedekah yang tersirat dalam ayat tersebut, ayat ini
juga mengisyaratkan makna umum dalam sedekah. Karena di antara sedekah
itu ada yang berbentuk harta, ada juga yang terhitung sedekah yang tidak
bersifat materi, seperti: ilmu pengetahuan, perkataan, perbuatan, dan
nasihat. Makna-makna ini dikoleksi isyarat kata (مَا) (relative noun) di (مِمَّا) yang memberikan makna umum.
Demikianlah jumlah yang singkat ini mengoleksi lima syarat sedekah dan
menjelaskan tempat-tempat pendistribusiannya dengan begitu luas.”([9])
Jika Anda telah meyakini kemukjizatan sistematika Al-Quran dilihat dari
ketelitian dan ketepatannya memilih dan merangkai kata menjadi kalimat
yang memberikan pemaknaan yang terpadu dengan makna kalimat lain di ayat
tertentu, sehingga ayat itu dengan sendirinya menyuguhkan bagian
pemaknaan yang menyatu dengan makna umum kelompok ayat dan tujuan umum
sebuah surah. Kini, Anda pasti sudah siap mengetahui lebih lanjut
keistimewaan mukjizat sistematika surah-surah Al-Quran.
Sebelum terlalu jauh menyentuh sisi ini, ada pertanyaan mendasar yang
menunggu jawaban dari Anda. Mereka mengatakan: “Baik Anda atau kami
pasti mengetahui bahwa Al-Quran mengoleksi makna yang begitu banyak
dalam satu surah. Tentunya, ini cukup meragukan kemampuan Al-Quran
memetik hasil banyak. Seandainya saja setiap tema satu surah, pastinya
lebih baik dan memudahkan pecinta Al-Quran memetik langsung makna-makna
Al-Quran?”
Sebelum penulis mengajak Anda terlalu jauh memberikan jawaban, Anda diajak melihat ilustrasi makna berikut ini:
Jika Anda masuk kebun yang memiliki banyak jenis tanaman, tentu dengan
mudahnya Anda memenuhi kebutuhan yang diinginkan, Anda bisa memilih satu
jenis buah dan meninggalkan yang lain sesuai dengan kebutuhan yang ada,
beda halnya jika kebun itu hanya memperlihatkan satu jenis tanaman,
tentu tidak ada pilihan bagi Anda, dan boleh jadi Anda meninggalkan
kebun itu tanpa memetik sesuatu pun.
Al-Quran tidak jauh beda dari ilustrasi di atas. Dengan koleksi makna
yang beraneka ragam dalam satu surah, ia memudahkan pecinta kalam ilahi
memilih jenis kebutuhan maknawi akal dan kalbu mereka, sehingga tidak
ada pengunjung yang pulang dengan tangan kosong, semuanya pulang dengan
bawaan masing-masing dengan penuh rasa puas. Jika Anda membelanjakan
waktu Anda di perbendaharaan makna Al-Quran, Anda pasti merasa kaya
makna, akal menemukan ilmu, hati mendapatkan pencerahan, kehidupan
tersinari dengan percikan-percikan maknawiyat Al-Quran yang begitu
tinggi dan bersahaja. Olehnya itu, meskipun Anda membaca satu surah,
Anda seperti membaca seluruh surah Al-Quran. Yang demikian itu karena
maqashid Al-Quran (tujuan mendasar penurunan Al-Quran yang meliputi
semua manusia, seperti: ketuhanan, kenabian dan risalah, keadilan, dan
hari kebangkitan) terhimpun dalam surah itu, bahkan terkoleksi di
kalimat dan ayat-ayatnya.
Kebenaran ini dipertegas oleh pernyataan Imam al-Baqilani berikut ini:
“Jika mereka mengatakan: Andai kata Al-Quran turun seperti buku-buku
lain yang bab dan pasal-pasalnya telah tertata rapi, sehingga setiap
jenis ilmu dimuat satu surah, tentunya ia akan memperlihatkan
sistematika yang lebih baik dan faedahnya pun pasti banyak? Jawabnya:
“Al-Quran turun seperti itu, turun dengan mengumpulkan pelbagai makna
dalam satu surah, bahkan dalam satu ayat, supaya faedahnya lebih banyak
dan lebih meluas. Seandainya saja setiap tema satu surah, tentu
faedahnya tidak terlalu banyak, dan orang kafir yang mendengarnya tidak
terhujat kecuali dengan satu makna itu yang dikoleksi surah tersebut,
tetapi dengan koleksi makna yang padat di setiap surah, sistematika
Al-Quran lebih banyak memberikan manfaat.””([10])
Di
samping itu, Al-Quran kitab petunjuk dan penyembuh yang mencakup semua
lapisan masyarakat. Supaya dengan mudahnya mereka mendapatkan bimbingan
hidup dan obat maknawi terhadap penyakit mereka, Al-Quran mengoleksi
banyak makna dalam setiap surah, sehingga meskipun mereka tidak membaca
semua surah Al-Quran, mereka seperti mendapatkan semua obat Al-Quran.
Yang diyakini penulis, obat Al-Quran ini tujuan penyembuhannya sama,
yang berbeda cara Al-Quran memaparkan obat-obat maknawinya sesuai dengan
pemaknaan umum yang mengalir di bagian-bagian sistematika sebuah surah.
Ustadz Said Nursi berkata:
“Ketahuilah!
Al-Quran titah ilahi dan obat semua lapisan manusia, dari yang paling
cerdas ke yang lebih bodoh, dari yang paling bertaqwa ke yang jatuh di
dasar jurang kesengsaraan, dari yang mendapatkan taufiq meniti jalan
akhirat ke yang terfitnah oleh kenikmatan-kenikmatan dunia yang semu.
Jika sulit bagi setiap orang membaca Al-Quran setiap saat, sementara
Al-Quran itu obat dan penyembuh setiap orang di setiap waktu, olehnya
itu, Yang Maha Bijaksana lagi Maha penyanyang menempatkan kebanyakan
dari maqashid-maqashid Al-Quran di pelbagai surah, khususnya surah-surah
panjang, sehingga setiap surah seperti mini Al-Quran yang memudahkan
setiap pemerhati dan pecinta Al-Quran.” ([11])
Keistimewaan
lain mukjizat Al-Quran yang tidak kalah terangnya dengan keistimewaan
di atas, maknanya yang senantiasa meremaja, fresh, dan tidak pernah
berhenti memberikan perasan sari pati makanan hati dan akal bagi mereka
yang haus hikmah-hikmah qur’ani dan hakikat-hakikat keimanan. Al-Quran
menyuguhkan sari pati maknanya sesuai dengan tingkat keilmuan dan
pemahaman pemerhatinya. Apa yang didapat si A terhitung sari pati
terhadapnya, begitu pula dengan B, meskipun derajat gizi rohani kedua
sari pati tersebut beda tingkat, dilihat dari perbedaan tingkat
pengetahuan.
Hematnya, percikan-percikan makna Al-Quran
ini tidak akan pernah habis selagi pentas manusia di dunia masih
berjalan. Di lain sisi, satu makna dari makna-makna yang tidak terhingga
itu memberikan kekuatan maknawi yang sama kepada setiap pecintanya,
meskipun pengaruh obat maknawi ini terhadap kalbu berbeda-beda, sesuai
penyakit dan kesiapan mereka menerima pesan-pesan maknawi tersebut
menjadi obat mujarab.
Semakin tinggi tingkat kebutuhan
dan kepapaan kita di hadapan mega makna Al-Quran, semakin besar peluang
akal dan hati tercerahkan dengan kesejukan embun panggilan-panggilannya,
puja-pujinya memaparkan keagungan dan kemuliaan zat dan sifat-sifat
Allah yang Maha Bijak dan Mengetahui, hikmah-hikmah hukum syariat-Nya,
teguran-tegurannya untuk orang-orang beriman yang kadang terasa halus
dan kadang juga terasa keras menyusut dari perumpamaan-perumpamaannya
yang memperlihatkan tragedi menyedihkan umat-umat terdahulu yang angkuh
mengikuti ajaran nabi-nabi mereka.
Olehnya itu, buanglah
dari jubah pribadi qur’ani Anda keangkuhan dan kesombongan yang kadang
mengecoh diri Anda sendiri dengan ego dan popularitas semu. Semakin suci
diri Anda dari sifat-sifat seperti ini, semakin besar kesempatan Anda
mengisi kekosongan jiwa yang menanti siraman-siraman ayat ketuhanan
Al-Quran.
Yang cinta Qur’an, mereka yang selalu merasa
butuh tiap saat terhadap petunjuk Al-Quran, merasakan kejanggalan hidup
jika satu hari berlalu darinya tanpa sentuhan-sentuhan Al-Quran yang
lahir dari bacaan, tadabbur, dan tafsir.
Hakikat
keistimewaan mukjizat Al-Quran ini dapat Anda lihat penjabarannya di
penafsiran ilmiah Ustadz Nursi yang menggambarkan perbedaan tingkat
pengetahuan manusia dalam memahami makna dan hikmah penciptaan gunung,
seperti di ayat berikut ini:
وقَالَ جَلَّ ثَنَاؤُهُ: )وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا( (Q.S. An-Naba’ [78]: 7)
“Dari
Mereka ada yang melihat gunung-gunung itu seperti pasak yang
ditancapkan ke perut bumi, sebagaimana yang nampak di hadapan mata,
sehingga dengan sendirinya mereka memikirkan nikmat dan faedah
penciptaan gunung, dan mensyukuri Sang Pencipta. Itulah bagian
orang-orang awam.
Ada juga dari mereka yang
mengkhayalkan bumi layaknya tanah yang terhampar, atap langit ibaratnya
tenda biru yang sangat besar mengelilingi bola dunia dan dihiasi dengan
lampu-lampu, gunung-gunung nampak baginya memenuhi cakrawala, dan
puncaknya menyentuh ujung-ujung langit sehingga mereka seperti
pasak-pasak tenda besar itu. Ia pun tercengang, takjub, dan menyucikan
Sang Maha Pencipta yang Mulia. Itulah bagian para penyair.
Ada
juga dari mereka yang mencontohkan permukaan bumi dengan padang pasir
yang luas, melihat rentetan pegunungan mirip dengan rentetan tenda besar
yang dihuni oleh pelbagai makhluk hidup, sehingga lapisan-lapisan tanah
ibaratnya penutup yang sengaja dilemparkan ke ujung pasak-pasak itu
untuk diangkat menjulang ke atas dengan ketajaman yang ada pada
unjungnya, sehingga menjadi rumah-rumah yang dihuni aneka ragam makhluk
hidup. Demikianlah dia memahami sambil bersujud di hadapan Sang Pencipta
yang Maha Mulia dalam keadaan tercengang dan takjub dari penciptaan
gunung-gunung tersebut yang dimisalkan dengan tenda-tenda yang
dibentangkan di atas permukaan bumi. Itulah bagian orang-orang badui
yang berakal.
Dan ada pula dari mereka yang
melihat bola dunia seperti kapal yang sedang berlayar di atas ombak
samudera udara dan eter (unsur sangat halus yang memenuhi lapisan
teratas ruang angkasa), gunung-gunung seperti tiang-tiang kapal yang
berfungsi menjaga keseimbangan. Begitulah ahli geografi berpikir sembari
berkata di hadapan keagungan Sang Maha Kuasa yang telah menjadikan bola
dunia sebagai kapal yang berlayar dengan frekuensi kecepatan yang
teratur, dan menjadikan kita penumpang di dalamnya: “Maha Suci Engkau,
dan Maha Agung perihal-Mu, ya Allah.”
Dan ada
juga dari mereka yang memahami bumi seperti pemukiman, dan tolak
punggung kehidupan pemukiman ini adalah makhluk hidup yang melangsungkan
kehidupan mereka di dalamnya. Sementara itu, sumber kehidupan adalah
air, udara, dan tanah. Di sini gunung sebagai penjaga dan pelestari
ketiga unsur ini, karena gunung gudang air, filter udara yang
mengendapkan gas-gas beracun (filtrasi), pelindung terhadap tanah dari
telapan air laut dan lumpur, dan gudang terhadap segala kebutuhan
manusia. Demikianlah ia memahami sembari memuji dan menyucikan Sang Maha
Pencipta yang Maha Mulia dan Pemurah yang menjadikan gunung-gunung
sebagai pasak dan gudang makanan terhadap kelangsungan hidup manusia di
permukaan bumi. Itulah bagian para ahli ilmu sosial kemasyarakatan yang
tahu dasar-dasar peradaban modern.
Dan ada juga
dari mereka yang tahu bahwa mekanisme pembauran unsur-unsur tanah, dan
gempa yang terjadi di dasar bumi akan berhenti dengan adanya gunung.
Olehnya itu, gunung-gunung telah menjaga keseimbangan siklus putaran
bola dunia pada orbitnya mengelilingi matahari. Begitulah Para filosof
memahami dan mengimani sembari berkata: “Hikmah itu milik Allah.””([12])
Hematnya,
keistimewaan mukjizat Al-Quran tidak mungkin dibatasi oleh pena dan
tulisan, selagi Al-Quran mencakup corak-corak kemukjizatan yang tidak
terhingga. Olehnya itu, di akhir tulisan ini saya mengajak pemerhati dan
pecinta Al-Quran menyuarakan kesimpulan berikut ini:
“Perlihatkan
kepapaan Anda di hadapan mega makna Al-Quran, kepapaan yang butuh
pencerahan rohani dan kekuatan maknawi sentuhan-sentuhan ayatnya yang
menyejukkan! Yakinilah! Keindahan estetika dan sistematika Al-Quran yang
memukau tidak mungkin tertandingi oleh kekuatan apa pun! Corak
kemukjizatan ini salah satu corak kemukjizatan yang paling bersinar.
Sekali lagi, tunjukkan kepapaan Anda dan arahkanlah diri Anda dengan
sepenuh jiwa ke alam qur’ani yang penuh pesona dengan suguhan-suguhan
maknanya yang tidak bertepi.”
([1]) Abu al-Hasan al-Asy’ari Ali bin Ismâil bin Ishâq, Maqâlât al-Islâmiyyin wa Ikhtilâf al-Mushallin, ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, Cairo, cet. 1, 1369 H, vol. 1, hlm. 271
([2]) Abdul Qâhir bin Thâhir bin Muhammad al-Bagdadi, al-Farqu baena al-Firaq, ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, al-Maktabah al-Masriyyah, Beirut, cet. 1416 H/1995, hlm. 143
([3]) Pernyataan
ini salah satu dalil tambahan dari penolakan kami terhadap wacana
An-Nadzzam yang ditegaskan oleh Dr. Muhammad As-Sayyid Radhi Jibril,
salah satu anggota tim penguji di sidang promosi disertasi kami yang
berjudul “Pengaruh Sistematika Al-Quran terhadap Tafsir Abi Suud (982 H)
dari awal Surah Al-Maidah hingga Akhir Surah Al-An’am, أثر نظم القرآن
في تفسير شيخ الإسلام أبي السعود العمادي المتوفى سنة 982 هـ من أول سورة
المائدة إلى آخر سورة الأنعام) yang digelar di Fakultas Ushuluddin,
Universitas Al-Azhar, pada tanggal 17 Februari 2013, 7 Rabiul Akhir 1434
H
([4]) AlJahidz, al-Bayân wa at-Tabyin, ditahkik oleh Abdu as-Salam Muhammad Harun, Maktabah al-Khanji, Cairo, cet. 1418 H/1998 M, vol. 1, hlm. 20
([5]) Lihat: Ibn Atiyyah Abdul Haq bin Ghâlib al-Andalusi, al-Muharrat al-Wajiz fi Tafsir al-Kitâb al-Aziz, ditahkik oleh Abdu as-Salam Abduh as-Syafi’, Darul Kutub Ilmiyah, cet. 1, 1423 H/2001 M, Beirut, vol. 1, hlm. 52
([6]) Mustafa Muslim, Mabâhits fi I’jâz Al-Qurân, Dar Muslim, Riyadh, cet. 2, 1416 H, hlm. 143
([7]) Said Nursi, Isyarat al-I’jaz, hlm. 138-139
([8]) Artinya: sebagian saja dari harta yang disedekahkan.
([9]) Said Nursi, al-Kalimât, diarabkan oleh Ihsân Qâsim as-Shâlihi, Sözler, Cairo, cet. 6, 2011, vol. 1, hlm. 427
([10]) Bayân I’jâz al-Qur’an, hlm. 54
([11]) Badiuzzaman Said Nursi, al-Masnawi al-Arabi, ditahkik oleh Ihsân Qâsim as-Shâlihi, Maktabah Sozler, Cairo, cet. 3, 2003 M, hlm. 70
([12]) Badiuzzaman Said Nursi, al-Kalimât, diarabkan oleh Ihsân Qâsim as-Shâlihi, Dar Sôzler, Cairo, cet. 6, 2011 M, hlm. 449-450
Tidak ada komentar:
Posting Komentar