1

Jumat, 31 Mei 2013

BERHARAP KEPADA ALLAH

Berharap pada Allah bukanlah hal yang mudah. Ibarat seorang bayi yang sejak lahir tidak pernah mengenali ibunya, tidak pernah mendapatkan sentuhan dari ibunya, tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ibunya maka ia tidak akan berharap pada ibunya dan akan berhenti berharap pada ibunya.
Demikianlah manusia kalau tidak mengenali  Allah, dia tidak mungkin berharap pada Allah dan itu fatal. Karena manusia sangat membutuhkan Allah, begitu ia berhenti berharap pada Allah berarti ia telah menutup jalan hidupnya.
Karena manusia itu tidak mungkin menyelesaikan urusannya sendiri dan tidak bisa menyelesaikan kasusnya sendiri. Hanya dengan membuka hati berharap pada Yang Kuasa baru dia punya optimisme. Makanya kita sering kehilangan optimisme karena yang kita harapkan bukan Yang Maha Kuasa. Seringkali bahkan kita kecewa, kenapa? Karena yang kita berharap pada yang tidak bisa memberikan apa-apa sehingga pantas kita kecewa. Maka janganlah berharap pada Manusia.
Dalam Al Qur’an Surat Al Insyirah ayat 8 Allah berfirman yang artinya:
dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Allah memerintahkan kita agar hanya kepada Allah saja hendaknya kita berharap. Oleh karena itu Imam Baihaqi menyebutkan bahwa berharap pada Allah sebagai cabang iman ke 12. Jadi kalau kita tidak berharap pada Allah atau sedikit harapan kita pada Allah berarti tidak sempurna imannya.
Ibnul Qoyyim memasukkan berharap pada Allah sebagai sifat yang wajib dimiliki seorang mukmin. Berharap pada Allah itu wajib dan itu merupakan solusi. Inilah indahnya Islam.
Kalau kita tidak berharap pada Allah berarti ada dua masalah, Pertama kita berdosa karena berharap pada Allah merupakan perintah  Allah dalam surat Al Insyirah ayat delapan. dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.(QS Al Insyirah 8. Wal ‘amru yadhullu ‘alal wujub (Secara umum perintah itu hukumnya wajib). Jadi kalau tidak berharap hukumnya dosa. Kedua, kita akan terpentok dalam hidup, sering putus asa, dam kehilangan solusi karena tidak ada yang dianggap bisa menyelesaikan kasus atau memberikan solusi.
Dalam hal  ini kita bisa belajar dari kisah Nabi Nuh AS. Disaat air sudah meninggi dan anaknya bersikeras tidak mau ikut bersamanya, Nabi Nuh tetap berseru, “Ya Bunayyarkam Ma’ana, wahai anakku naiklah bersamaku.” Anaknya menolak dan mengatakan bahwa dia akan naik ke gunung yang lebih tinggi. Nabi Nuh terus mengajak, “Ya Bunayyarkam ma’ana. Nabi Nuh tidak menyerah karena berharap besar Allah memberikan hidayah pada anaknya karena ketika Allah berkehendak maka tidak akan ada yang bisa menghalangi.
Kita juga bisa meneladani bagaimana perjuangan Rasulullah ketika membimbing pamannya, Abu Thalib, yang sedang mengalami sakaratul maut. Besar harapan rasulullah agar pamannya mau masuk Islam hingga akhirnya harapan itu benar benar berhenti ketika maut menjemput.
Itulah gambaran tentang harapan pada Allah yakni situasi hati yang selalu melihat kuasa Allah, rahmat Allah yang Luas. Ketika Dia memberi, tak ada yang bisa menghalangi, Ketika Allah memberi hidayah maka tidak ada yang bisa menyesatkan.
Hati seorang mukmin selalu demikian. Dia terus memandang Kuasa Allah dalam setiap hal baik dalam menggapai cita-cita atau dalam menyelesaikan masalahnya.
Ketika hati ini besar harapannya dan hanya berharap pada Allah, dia akan merasakan luapan semangat, optimisme perasaan berlimpah solusi, berlimpah karunia, berlimpah dukungan, tidak merasa takut dan sedih. Orang mukmin harus demikian, dia harus melihat segala sesuatu dari sudut pandang kekuasaan Allah bukan dari sudut pandang manusia.
Sebagaimana rasulullah yang terus berjuang berdakwah selama bertahun tahun di Makkah. Meski di intimidasi, disakiti, dicaci dan dihina, Rasulullah tidak pernah menyerah. Saat bumi mekkah seakan akan telah tertutup Rasulullah pergi ke Thaif, Thaif tidak menerima Rasul balik ke makkah lagi berdakwah di tenda tenda haji hingga akhirnya Allah memberikan tempat di madinah. Rasulullah tidak pernah berhenti karena ia tahu bahwa jika Allah berkehendak memberikan kemenangan dan hidayah pada umatnya maka dalam sekejap pun bisa. Namun Rasulullah terus berikhtiar dan berjuang. Salah satu alasan kenapa Rasulullah tidak berhenti karena besarnya harapan pada Allah.
Ketika banyak orang kecewa pada kinerja pemerintah, prihatin dengan maraknya korupsi maka janganlah berharap pada manusia karena berharap kepada manusia hanya akan mengecewakan. Berharaplah pada Allah agar Allah menggerakkan hati manusia manusianya dan membuat pemerintahan ini menjadi lebih baik dan bersih dari korupsi.

Kenapa harapan ini tidak Muncul?

1. Orang tidak mungkin berharap pada yang tidak ia kenal.
Hati ini tidak mungkin berharap sebesar besarnya pada Allah kalau tidak kenal dengan Allah. Bisa saja mulut dan otak kita kenal Allah tapi ketika hati tidak kenal dengan Allah maka tidak mungkin bisa. Itulah yang disebut ma’rifatullah.
Kalau hati ini tidak mengenal baik bahwa Allah Maha Kuasa, sebaliknya kita tertutup oleh hijab dunia maka yang kuasa itu jadi bos kita, atasan kita, mertua kita, teman kita, gaji kita, biro keuangan, biro kepegawaian, pak hakim, pak Jaksa dan bersiap siaplah untuk kecewa. Maka berharaplah pada Yang Maha Kuasa, hati kita akan menjadi lapang dan kita tidak akan pernah merasa kehilangan solusi.
2. Jarang Dzikrullah (mengingat Allah) sehingga sering ingat pada selain Allah
3. Kurang tajamnya memandang kehebatan atau kekuasaan Allah atas makhluk Nya.

Solusinya

Solusinya adalah kenalilah Allah dengan lisan, pikiran dan hati kita. Bukan sekedar kenal biasa tapi mendominasi pikirannya yakni banyak menyebut dan mengingat-Nya. Orang bisa saja kenal tapi kalau tidak sering mengingat dan menyebutnya maka bisa jadi lupa dan hati akan terisi dengan yang lain.

Buah Berharap pada Allah

  1. Tidak pernah merasa kehilangan solusi, kehilangan akal, kehilangan jalan sehingga menumbuhkan optimisme
  2. Merasa nyaman dan bahagia karena kita merasa mendapat dukungan dari Allah. Esensi hidup itu sudah kita raih dari awal sehingga kita jarang kecewa.
  3. Merasakan kemudahan dan kemudahan.

Empat tingkatan berharap pada Allah

  1. Harapan untuk tegaknya agama Allah di muka Bumi. Ini merupakan harapan para Anbiya dan ulama.
  2. Harapan tegaknya Agama Allah di dalam diri sendiri
  3. Harapan memperoleh kebaikan dalam urusan dunia.
  4. Berharapnya orang yang banyak dosa untuk masuk surga dengan rahmat Allah. Berharap pada ampunan Allah.
Semoga kita termasuk diantara orang-orang yang besar harapannya pada Allah dan hanya pada Alla

CARA MENGAPAI RAHMAT ALLAH

SETIDAKNYA ada lima aspek (cara) yang harus kita pahami secara benar dan untuk menggapai rahmatullah :

agar selamat di dunia dan beruntung di akhirat:

Pertama, memahami landasan atau dasar hidup kita manusia yaitu tauhid. Maksud tauhid adalah meyakini bahwa Allah SWT adalah Esa dan tiada serikat bagi-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Ketahuilah bahwasanya tiada Tuhan Selain Allah.” Ini adalah hakekat kembali kepada fitrah yakni memiliki komitmen atau keterikatan yang kuat kepada Allah SWT dengan segala ajaran yang diturunkan-Nya. Ini juga merupakan wujud pokoh pengakuan seorang muslim kepada Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya. Dari sikap ini akan muncul sosok pribadi muslim yang kecintaannya kepada Allah SWT di atas segala-galanya. Sejarah juga membuktikan bahwa orang yang bertauhid itu sangat loyal dan setia kepada Allah SWT. Bilal bin Rabah umpamanya, seorang budak yang begitu kuat loyalitasnya kepada Allah, meskipun ia harus mengalami penderitaan dan siksaan dari tuannya. Begitu juga dengan Yasir dan Sumayyah, pasangan suami-istri yang sama-sama sebagai budak, juga kuat loyalitasnya kepada Allah SWT, kendati harus mengorbankan nyawanya. 

 Kedua, agar dapat menggapai rahmat Allah SWT, kita harus memahami fungsi hidup manusia yaitu beribadah kepada-Nya, selaras dengan firman-Nya dalam QS Adz-Dzariyaat 56: “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Makna ibadah adalah suatu sistem pendekatan diri (taqorrub) kepada Allah SWT dengan cara menjalankan perintah dan menghindari segala larangan-Nya. Ibadah ada yang bersifat umum dan ada pula bersifat khusus. Yang bersifat umum adalah amalan atau aktivitas hidup yang diizinkan Allah mengerjakannya, apapun wujudnya. Contohnya bekerja sebagai petani, pedagang, buruh, karyawan, guru, militer dan lainnya dengan cara yang halal serta dikerjakan dengan niat lillahi ta’ala. Sedangkan ibadah yang bersifat khusus adalah bentuk ibadah yang telah ditentukan Allah SWT dan Rasul-Nya, seperti shalat, shoum, haji dan sebagainya. Kedua ibadah ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena ibadah khusus itu adalah ruhnya dari ibadah umum. 

Ketiga, guna menggapai rahmat Allah SWT, kita harus tahu dan memahami tugas-tugas manusia yaitu sebagai khalifah fil ardhi, sebagai penguasa dan pemimpin di muka bumi. Sesuai firman-Nya dalam QS Al-B aqarah 30 : “... dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya aku hendak menjadikan sesorang khalidah di muka bumi....” Kalimat khalifah fil ardhi dalam Al-Quran dapat kita artikan bahwa pemimpin bangsa, dari yang tertinggi sampai terendah di dunia seharusnya memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Lebih-lebih pada masa seperti sekarang ini, keadaan ekonomi umat negeri kita semakin hari semakin menderita baik karena ulah manusia maupun akibat bencana alam. Tugas pemimpinlah yang harus mengendalikannya. 

Keempat, setelah kita paham akan dasar hidup, fungsi dan tugas hidup, hendaknya kita mengetahui dan memahami pedoman hidup manusia. Menjelang wafatnya, ketika menyampaikan khotbah wada’, Rasulullah SAW berwasiat kepada umat manusia: “Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya, suatu urusan yang terang dan nyata yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”

Kelima, atau yang terakhir agar bisa menggapai rahmat Allah SWT, kita harus tahu tujuan hidup yaitu menggapai keridhaan-Nya. Kalau ini yang menjadi cita-cita dan tujuan kita hidup, insya Allah kita akan mendapat ketentraman, ketenangan dan kedamaian hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak. Masalah apapun yang kita alami dan hadapi, insya Allah akan ada jalan keluarnya. Akhirnya mari kita memohon bersama kepada Allah, agar kita tetap optimis dalam memandang masa depan, walaupun kehidupan kita penuh dengan penderitaan

Rabu, 29 Mei 2013

AJAKAN BERAMAL.

Pasti benar bahwa Allah Arrahman akan membalas amal sedekah dengan berlipat ganda (lihat QS. Al-Baqarah : 261). Demikian juga yang dijelaskan oleh Baginda Rasulullah dalam hadistnya. Lalu salahkah kita mengharap itu? Tentu tidak. Namun, jika bersedekah sebatas itu, biasanya 1) sedekah dikeluarkan hanya sebatas mendapatkan “balasan” yang kita inginkan, 2) tak selalu Allah membalas dengan balasan duniawi ala ‘matematis sedekah’ (Lihat Al-Haitsami Majma ‘az-Zawa, V/282) dan 3) mungkin kita akan kecewa jika sedekah kita tidak berbalik seperti‘matematika sedekah.

Jadi mesti bagaimana? Marilah kita simak keteladanan Rasulullah dan para sahabat dalam bersedekah dan berinfak fi sabilillah berikut ini,

Suatu ketika Baginda Rasul SAW mendapat hadiah harta dari kaum Fadak yang dibawa oleh empat ekor unta. Sebagian harta tadi beliau gunakan untuk membayar hutang yang sudah jatuh tempo. Bilal yang beliau tugasi untuk membayarkannya, sementara Beliau menunggu di masjid. Setelah seluruh utang itu dibayar, Bilal menemui Beliau, lalu Baginda bertanya, “Masih adakah harta yang tersisa?”, jawab Bilal, “Ya, masih ada sedikit”. Beliau lalu memerintahkan, “Bagikanlah harta itu sampai habis hingga aku bisa merasa tenang. Aku tidak akan pulang ke rumah hingga harta itu dibagikan semua. Lalu beberapa kali Rasulullah menanyakan hal yang sama, maka jawab Bilal, “Sudah tidak ada lagi yang tersisa ya Rasulullah. Allah telah memberkati Anda dengan ketentraman jiwa. Semua harta itu telah habis dibagikan” (Al-Kandahlawi, Fadha’il al-Amal, 576).

******Mari bergabung dalam Shadaqah Majelis Darul Aytam, HANYA DENGAN : Rp. 25.000,- Peranak Yatim dan Dhua'fa.. www.Majelisdarulaytam.blogspot.com.**

BERSYUKUR ATAS NIKMAT YANG ALLAH BERIKAN



Bersyukur kepada Allah pada hakikatnya adalah mengakui bahwasannya segala kenikmatan yang ada pada diri kita dan semua makhluk ciptaanNya adalah berasal dari Allah Ta'ala. Dalam bahasa mudahnya bersyukur adalah berterima kasih. Kita seringkali berterima kasih kepada sesama manusia, tetapi melupakan satu hal yang justru harus kita lakukan yaitu mensyukuri nikmat Allah yang ada pada diri kita semuanya.

Arti syukur dalam harfiah bahasa adalah merupakan pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut (Al Jauhari). Sedangkan pengertian bersyukur dalam agama bahwa syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah"(Madarijus Salikin, 2/244). Ini adalah pengertian syukur menurut Ibnul Qayyim. Dan 3 hal di atas adalah cara mensyukuri nikmat Allah atas diri kita.



Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan atau tidak mau untuk menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah Ta’ala. Kita berlindung kepada Allah dari sifat kufur nikmat ini aamiin. Bila kita pandai dalam mensyukuri nikmat Allah maka hal ini akan mendatangkan nikmat-nikmat Allah lainnya.

Ada beberapa tanda-tanda orang yang bersyukur dan tanda tersebut adalah :

  1. Mengakui, memahami, serta menyadari bahwa Allah-lah yang telah memberikan nikmat. Pengertiannya di sini adalah bahwa segala nikmat pada dasarnya Allah yang memberikan kepada kita. Manusia adalah juga merupakan perantara dari Pemberi Nikmat yang sesungguhnya yaitu Allah. Orang yang bersyukur senantiasa menisbatkan setiap nikmat yang didapatnya kepada Allah Ta’ala, bukan kepada makhluk atau pun lainnya.
  2. Orang bersyukur akan menunjukkan dalam bentuk ketaatan kepada Allah. Jadi tanda mensyukuri nikmat Allah adalah menggunakan nikmat tersebut dengan beribadah dan taat menjalankan ajaran agama. Keanehan bila orang mengakui nikmat Allah, tetapi tidak mau menjalankan ajaran agama seperti halnya sholat, enggan belajar agama dan sejenisnya.
Lalu bagaimana kita tanda bersyukur pada Allah ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Ada beberapa cara mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada kita yaitu diantaranya dengan :
  1. Mensyukuri nikmat Allah dengan melalui hati. Cara bersyukur kepada Allah dengan hati ini maksudnya adalah dengan mengakui, mengimani dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan ini datangnya hanya dari Allah SWT semata.
  2. Mensyukuri nikmat Allah dengan melalui lisan kita. Caranya adalah dengan kita memperbanyak ucapan alhamdulillah (segala puji milik Allah) wasysyukru lillah (dan segala bentuk syukur juga milik Allah).
  3. Mensyukuri nikmat Allah dengan perbuatan kita. Yaitu perbuatan dalam bentuk ketaatan kita menjalankan segala apa yang diperintah dan menjauhi segala apa yang dilarangNya. PerintahNya termasuk segala hal yang yang berhubungan dalam rangka menunaikan perintah-perintah Allah, baik perintah itu yang bersifat wajib, sunnah maupun mubah.

Anggapan kebanyakan orang, bersyukur kepada Allah hanya perlu dilakukan pada saat mendapatkan anugrah besar atau terbebas dari masalah besar adalah hal yang merupakan suatu kekeliruan yang besar. Padahal jika kita merenung sejenak, maka kita akan bisa menyadari bahwa kita semua ini dikelilingi oleh nikmat yang tidak terbatas banyaknya. Dalam hitungan waktu ,setiap detik, setiap menit, dan seterusnya tercurah kenikmatan dari Allah tak terhenti yang berupa hidup, kesehatan, kecerdasan, panca indra, udara yang dihirup.

Mudahnya adalah segala sesuatu yang memungkinkan orang untuk hidup telah diberikan oleh Allah. Sebagai balasan semua itu, seseorang diharapkan untuk mengabdi kepada Allah sebagai rasa syukurnya. Orang-orang yang tidak memperhatikan semua kenikmatan yang mereka terima, dengan demikian telah mengingkari nikmat (kufur). Mereka baru mau bersyukur apabila semua kenikmatan telah direnggut darinya. Contoh mudahnya adalah kesehatan yang tidak pernah diakui sebagai nikmat baru akan disadari dan syukuri setelah mendapatkan sakit.

Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk senantisa mensukuri nikmat yang telah diberikanNya dan menggunakan nikmat tersebut dalam rangka mencari keridhoan Allah yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan kita. 


Sumber :safiyhati

Selasa, 28 Mei 2013

Jangan Bersedih Jika Orang Ingkari kebaikan yang anda lakukan

Niatkan semua amal perbuatan itu hanya karena Allah semata dan jangan pernah mengharap terima kasih dari orang lain. Jangan menjadi resah dan gundah karena ternyata orang yanhg anda perlakukan dengan baik justru membalas dengan perbuatan keji dan tidak menghargai “ tangan putih” yang anda ulurkan dan kebaikan yang anda berikan. Tapi carilah pahala dari kebaikan dari sisi Allah.
Allah berfirman tentang orang-orang yang dikasihi dan dipilihnya (waliNYa)
“Mereka mencari karuania Allah dan keridhaan Nya ….”               
QS AL Fath : 29
Juga tentang para NabiNya
“Aku tidak meminta upah sedikitpun atas da’wahku…”                QS As Shad : 8
Katakanlah “ Upah apapun  yang aku minta kepadamu, maka itu untuk untuk kamu ‘QS. As Saba : 47
“Padahal tidak ada seorangpun yang harus memberi nikmat kepadanya yang harus dibalasnya QS Al Lail : 19
´Sesungguhnya kami memberikan suatu makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasasn dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih QS Al Insan : 9
Seorang penyair  berkata,
Siapa yang berbuat baik tidak akan sirna pahalanya
Tidak akan sirna kebaikan disisi Allah dan manusia
Berbuat baiklah hanya untuk Yang Maha Esa sebab hanya Dia-lah yang akan memberi pahala, Dialah yang akan memberi karunia. Allahlah yang akan menjatuhkan sanksi, melakukan perhitungan amal, dan Dia yang akan ridho dan murka. Maha Suci dan Maha Tinggi Allah..
Ketika banyak di antara sahabat yang terbunuh sebagai syuhada di kota Kandahar, maka Umarpun berkata kepada para sahabat yang tersisa,” Siapa saja yang terbunuh?” Maka disebutkan sejumlah nama ,” Dan masih banyak lagi yang tak kau kenal,” jawab para sahabat itu. Tak terasa kedua mata Umar meneteskan air mata dan berkata ,” Tapi Allah mengetahui mereka.”

Ada orang saleh yang memberikan faludzaj  kepada orang buta. . Keluarga orang yang buta berkata “ Orang yang buta tidak tahu apa yang dimakannya,” Dijawab orang yang saleh itu “Tapi Allah Mengetahui.”

Selama Allah masih melihat  dan mengetahui kebaikan yang Anda lakukan, serta mengetahui keutamaan yang Anda ulurkan , maka janganlah mengharapkan pujian dari orang lain..karena ia tidak mendatangkan pahala.  (Dr. Aidh Al Qarni)

BERTERIMA KASIH KEPADA MUSUHMU

Berterima kasihlah terhadap musuh atau lawan lawanmu. Mereka tentu akan selalu mencari kelemahan dan kejelekanmu. Jika engkau mengetahui bahwa mereka sedang melakukan hal itu kepadamu, maka kamu tidak perlu marah. Namun justru pujilah Allah, karena Dia telah menjadikan untukmu orang lain yang dapat mengerti kekuranganmu, sebab kamu sendiri tidak mengerti kekurangan itu. Mereka akan berterus terang dalam menjelaskan kekuranganmu. Dengarkan baik baik apa yang mereka katakan tentangmu karena hal itu lebih patut untuk memantau dirimu. Adapun teman kamu sendiri, maka ia tentu akan merasa malu dan sungkan untuk menunjukkan kekurangan itu.

Dr Aidh Al Qarny
 

AMALAN-AMALAN KHUSUS DI BULAN RAMADHAN

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling utama dalam setahun. Karena pada bulan tersebut Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan amalan puasa sebagai suatu kewajiban dan menjadikannya sebagai salah satu rukun Islam yaitu rukun Islam yang keempat. Umat islam pada bulan tersebut disyariatkan untuk menghidupkannya dengan berbagai amalan.
Mengenai wajibnya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ ، وَحَجِّ البَيْتِ
Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakatberpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 8 dalam Al Iman, Bab “Islam dibangun atas lima perkara”, dan Muslim no. 16 dalam Al Imam, Bab  “Rukun-rukun Islam”)
Nabi ‘alaihis shalaatu was salaam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melakukan puasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2014  dalam Shalat Tarawih, Bab “Keutamaan Lailatul Qadr”, dan Muslim no. 760 dalam Shalat Musafir dan Qasharnya, Bab  “Motivasi Qiyam Ramadhan”)
Aku tidak mengetahui ada amalan tertentu untuk menyambut bulan Ramadhan selain seorang muslim menyambutnya dengan bergembira, senang dan penuh suka cita serta bersyukur kepada Allah karena sudah berjumpa kembali dengan bulan Ramadhan. Semoga Allah memberi taufik dan menjadikan kita termasuk orang yang menghidupkan Ramadhan dengan berlomba-lomba dalam melakukan amalan shalih.
Berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan sungguh merupakan nikmat besar dari Allah. OIeh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memberikan kabar gembira kepada para sahabat karena datangnya bulan ini. Beliau menjelaskan keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan dan janji-janji indah berupa pahala yang melimpah bagi orang yang berpuasa dan menghidupkannya.
Disyariatkan bagi seorang muslim untuk menyambut bulan Ramadhan yang mulia dengan melakukan taubat nashuhah (taubat yang sesungguhnya), mempersiapkan diri dalam puasa dan menghidupkan bulan tersebut dengan niat yang tulus dan tekad yang murni.”
[Pertanyaan di Majalah Ad Da’wah, 1284, 5/11/1411 H. Sumber : Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/9-10]
***
Demikian penjelasan dari Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-. Dari penjelasan singkat di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa tidak ada amalan-amalan khusus untuk menyambut bulan Ramadhan selain bergembira dalam menyambutnya, melakukan taubat nashuhah, dan melakukan persiapan untuk berpuasa serta bertekad menghidupkan bulan tersebut.
Oleh karena itu, tidaklah tepat ada yang meyakini bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.
Juga tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!
Begitu pula dengan maaf memaafkan menjelang ramadhan, ini pun suatu amalan yang tidak tepat. Karena maaf memaafkan boleh kapan saja. Lantas mengapa dikhususkan menjelang Ramadhan? Apa dasarnya?
Semoga dengan bertambahnya ilmu, kita semakin baik dalam beramal. Semoga Allah selalu memberikan kita ilmu yang bermanfaat, memberikan kita rizki yang thoyib dan memberi kita petunjuk untuk beramal sesuai tuntunan.

Senin, 27 Mei 2013

ISLAM, Rahmat bagi semesta Alam

Allah Menciptakan syariat ini dan Allah utus Rasul-Nya adalah sebagai bukti kasih sayang-Nnya kepada seluruh manusia. Allah berfirman: “Tidaklah Kami mengutus engkau kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (Al-Anbiya: 107)

Ibnu Abbas radliyallahu `anhu berkata tentang ayat ini: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka Allah tuliskan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Adapun orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka pun mendapat rahmat dengan datangnya Rasul yaitu keselamatan dari adzab di dunia, seperti ditenggelamkannya ke dalam bumi atau dihujani dengan batu.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/222)

Oleh karena itu ketika malaikat Jibril datang kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan beliau terusir dari kaumnya, dilempari dengan batu di Thaif hingga berdarah kakinya, duduk di luar kota tanpa kawan, bermunajat kepada Allah. Malaikat itu berkata: “Aku diutus Allah untuk mentaati perintah-Mu. Jika engkau menginginkan agar aku menimpakan gunung ini kepada mereka aku akan laksanakan.” Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, berilah hidayah pada mereka karena sesungguhnya mereka belum mengetahui.” Melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berdoa seperti itu, Jibril mengatakan: “Maha benar Allah yang menamakanmu ra’ufur rahim.” (lihat Nurul Yaqin hal. 56)

Inilah bukti kasih sayang beliau kepada seluruh manusia. Jika beliau diberi pilihan doa yang maqbul terhadap kaumnya apakah dilaknat dan diadzab ataukah diberi hidayah, tentu beliau memilih berdoa agar Allah memberikan hidayah. 

Pernah suatu hari beliau didatangi oleh Thufail Ad-Dausi. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kabilah Daus menentang dan menolak dakwah ini. Maka doakanlah agar Allah menghancurkan mereka.” Maka Rasulullah pun menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya. Para shahabat yang ada di situ berucap: “Binasalah Daus!” Ternyata Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengucapkan doa: “Ya Allah, berilah hidayah pada suku Daus dan bawalah mereka kemari” (beliau mengucapkannya tiga kali). (HR. Bukhari dan Muslim).
Doa beliau ternyata maqbul. Suku Daus datang berbondong-bondong kepada Nabi untuk masuk Islam.
Demikian pula diriwayatkan dari Muslim dengan sanadnya kepada Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa dia berkata: Pernah dikatakan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, doakanlah kejelekan bagi musyrikin.” Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menjawab:


Aku tidak diutus sebagai tukang laknat, melainkan aku diutus sebagai rahmat.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Hanya saja aku diutus sebagai rahmat yang diberikan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3 / 222).
Maka Islam adalah agama kasih sayang, dibawa oleh seorang penyayang dari Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
iman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Barangsiapa tidak mengimaninya sungguh dia telah terjerumus dalam kekafiran meskipun dia mengimani rukun-rukun iman yang lainnya. Walhamdulillah banyak diantara kaum muslimin yang telah mengenal takdir, akan tetapi amat disayangkan ternyata masih terdapat berbagai fenomena yang justru menodai bahkan bertentangan dengan keimanan kepada takdir.

Barangkali masih tersimpan dalam ingatan kita tatkala seorang artis mempopulerkan lagu ‘Takdir memang kejam’ yang sangat digemari oleh sebagian masyarakat negeri ini beberapa waktu lampau, yang menunjukkan betapa mudahnya masyarakat kita menerima sesuatu yang menurut mereka bagus namun pada hakikatnya justeru merusak akidah mereka. Karena itulah setiap muslim wajib membekali dirinya dengan pemahaman takdir yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rosul-Nya. Dalam mengimani takdir ada empat hal yang harus diyakini dalam dada setiap muslim yaitu al ‘ilmu, al kitabah, al masyi’ah dan al kholq.
Pertama, Al ‘Ilmu (Tentang Ilmu Allah)
Kita meyakini bahwa ilmu Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci yang terjadi sejak zaman azali (yang tidak berpermulaan) sampai abadi (yang tidak berkesudahan). Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al Hajj: 70). Allah sudah tahu siapa saja yang akan menghuni Surga dan siapa yang akan menghuni Neraka. Tidak ada satupun makhluk di langit maupun di bumi bahkan di dalam perut bumi sekalipun yang luput dari pengetahuan-Nya.
Kedua, Al Kitabah (Tentang Penulisan Ilmu Allah)
Kita meyakini bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ilmu-Nya tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam Lauhul Mahfuzh sejak 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis takdir seluruh makhluk ciptaan-Nya semejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim). Takdir yang ditulis di Lauhul Mahfuzh ini tidak pernah berubah. Berdasarkan ilmu-Nya, Allah telah menuliskan siapa saja yang termasuk penghuni surga dan siapa yang termasuk penghuni neraka. Namun tidak ada satu orangpun yang mengetahui apa yang ditulis di Lauhul Mahfuzh kecuali setelah hal itu terjadi.
Ketiga, Al Masyi’ah (Tentang Kehendak Allah)
Kita meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki kehendak yang meliputi segala sesuatu. Tidak ada satu perbuatan makhluk pun yang keluar dari kehendak-Nya. Segala sesuatu yang terjadi semuanya di bawah kehendak (masyi’ah) Allah, entah itu disukai atau tidak disukai oleh syari’at. Inilah yang disebut dengan Irodah Kauniyah Qodariyah atau Al Masyi’ah. Seperti adanya ketaatan dan kemaksiatan itu semua terjadi di bawah kehendak Allah yang satu ini. Meskipun kemaksiatan itu tidak diinginkan terjadi oleh aturan syari’at.
Di sisi lain Allah memiliki Irodah Syar’iyah Diniyah. Di dalam jenis kehendak/irodah yang kedua ini terkandung kecintaan Allah. Maka orang yang berbuat taat telah menuruti 2 macam kehendak Allah ini. Adapun orang yang bermaksiat dia telah menyimpang dari Irodah Syar’iyah namun tidak terlepas dari Irodah Kauniyah. Lalu apakah orang yang bermaksiat ini terpuji? Jawabnya, Tidak. Karena dia telah melakukan perkara yang tidak dicintai d bahkan dibenci oleh Allah.
Keempat, Al Kholq (Tentang Penciptaan Segala Sesuatu Oleh Allah)
Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah makhluk ciptaan Allah baik itu berupa dzat maupun sifat, demikian juga seluruh gerak-gerik yang terjadi di dalamnya. Allah Ta’ala befirman, “Allah adalah pencipta segala sesuatu.” (Az Zumar: 62). Perbuatan hamba juga termasuk makhluk ciptaan Allah, karena perbuatan tersebut terjadi dengan kehendak dan kemampuan hamba; yang kedua-duanya ada karena diciptakan oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Allah-lah yang Menciptakan kalian dan amal perbuatan kalian.” (QS. Ash Shoffaat: 96)
Sumber Kesesatan Dalam Memahami Takdir
Sesungguhnya kesesatan dalam memahami takdir bersumber dari kesalahpahaman dalam memahami kehendak/irodah Allah. Mereka yang menganggap terjadinya kemaksiatan terjadi di luar kehendak Allah telah menyingkirkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah yang menunjukkan tentang Irodah Kauniyah. Orang-orang semacam ini akhirnya terjatuh dalam kesesatan tipe Qodariyah yang menolak takdir. Sedangkan mereka yang menganggap segala sesuatu yang ada baik ketaatan maupun kemaksiatan terjadi karena dicintai Allah telah menyingkirkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah yang mengancam hamba yang menyimpang dari Irodah Syar’iyah. Orang-orang semacam ini akhirnya terjatuh dalam kesesatan tipe Jabriyah yang menganggap hamba dalam keadaan dipaksa oleh Allah. Maha Suci lagi Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Maka Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah, mereka mengimani Irodah Syar’iyah dan Irodah Kauniyah, dan inilah pemahaman Nabi dan para sahabat.
Takdir Adalah Rahasia Allah
Ali bin Abi Tholib rodhiyAllahu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Setiap kalian telah ditulis tempat duduknya di surga atau di neraka.” Maka ada seseorang dari suatu kaum yang berkata, “Kalau begitu kami bersandar saja (tidak beramal-pent) wahai Rosululloh?”. Maka beliau pun menjawab, “Jangan demikian, beramallah kalian karena setiap orang akan dimudahkan”, kemudian beliau membaca firman Allah, “Adapun orang-orang yang mau berderma dan bertakwa serta membenarkan Al Husna (Surga) maka kami siapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail: 5-7). (HR. Bukhori dan Muslim). Inilah nasehat Nabi kepada kita untuk tidak bertopang dagu dan supaya senantiasa bersemangat dalam beramal dan tidak menjadikan takdir sebagai dalih untuk bermaksiat.
Pilih Mana: Jalan ke Surga Atau ke Neraka?
Apabila di hadapan anda terdapat 2 buah jalan; yang satu menuju daerah yang penuh kekisruhan dan ketidakamanan, sedangkan jalan yang satunya menuju daerah yang penuh ketentraman dan keamanan. Akan kemanakah anda akan melangkahkan kaki? Akal sehat tentu tidak memilih jalan yang pertama. Maka demikian pulalah seharusnya kita bersikap dalam memilih jalan yang menuju kehidupan akhirat kita, hendaknya jalan ke surga itulah yang kita pilih bukan sebaliknya. Alangkah tidak adilnya manusia yang memilih kesenangan duniawi dengan akalnya namun justeru memilih kesengsaraan akhirat dengan dalih takdir dan membuang akal sehatnya. Suatu saat ada pencuri yang hendak dipotong tangan oleh kholifah Umar, namun pencuri ini mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya aku mencuri hanya karena takdir Allah.” Umar pun menjawab, “Dan Kami pun memotong tangan dengan takdir Allah.” Lalu siapakah yang kejam? Bukan takdir Allah yang kejam tapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. WAllahu a’lam bish showaab.

iman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Barangsiapa tidak mengimaninya sungguh dia telah terjerumus dalam kekafiran meskipun dia mengimani rukun-rukun iman yang lainnya. Walhamdulillah banyak diantara kaum muslimin yang telah mengenal takdir, akan tetapi amat disayangkan ternyata masih terdapat berbagai fenomena yang justru menodai bahkan bertentangan dengan keimanan kepada takdir.

Barangkali masih tersimpan dalam ingatan kita tatkala seorang artis mempopulerkan lagu ‘Takdir memang kejam’ yang sangat digemari oleh sebagian masyarakat negeri ini beberapa waktu lampau, yang menunjukkan betapa mudahnya masyarakat kita menerima sesuatu yang menurut mereka bagus namun pada hakikatnya justeru merusak akidah mereka. Karena itulah setiap muslim wajib membekali dirinya dengan pemahaman takdir yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rosul-Nya. Dalam mengimani takdir ada empat hal yang harus diyakini dalam dada setiap muslim yaitu al ‘ilmu, al kitabah, al masyi’ah dan al kholq.
Pertama, Al ‘Ilmu (Tentang Ilmu Allah)
Kita meyakini bahwa ilmu Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci yang terjadi sejak zaman azali (yang tidak berpermulaan) sampai abadi (yang tidak berkesudahan). Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al Hajj: 70). Allah sudah tahu siapa saja yang akan menghuni Surga dan siapa yang akan menghuni Neraka. Tidak ada satupun makhluk di langit maupun di bumi bahkan di dalam perut bumi sekalipun yang luput dari pengetahuan-Nya.
Kedua, Al Kitabah (Tentang Penulisan Ilmu Allah)
Kita meyakini bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ilmu-Nya tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam Lauhul Mahfuzh sejak 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis takdir seluruh makhluk ciptaan-Nya semejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim). Takdir yang ditulis di Lauhul Mahfuzh ini tidak pernah berubah. Berdasarkan ilmu-Nya, Allah telah menuliskan siapa saja yang termasuk penghuni surga dan siapa yang termasuk penghuni neraka. Namun tidak ada satu orangpun yang mengetahui apa yang ditulis di Lauhul Mahfuzh kecuali setelah hal itu terjadi.
Ketiga, Al Masyi’ah (Tentang Kehendak Allah)
Kita meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki kehendak yang meliputi segala sesuatu. Tidak ada satu perbuatan makhluk pun yang keluar dari kehendak-Nya. Segala sesuatu yang terjadi semuanya di bawah kehendak (masyi’ah) Allah, entah itu disukai atau tidak disukai oleh syari’at. Inilah yang disebut dengan Irodah Kauniyah Qodariyah atau Al Masyi’ah. Seperti adanya ketaatan dan kemaksiatan itu semua terjadi di bawah kehendak Allah yang satu ini. Meskipun kemaksiatan itu tidak diinginkan terjadi oleh aturan syari’at.
Di sisi lain Allah memiliki Irodah Syar’iyah Diniyah. Di dalam jenis kehendak/irodah yang kedua ini terkandung kecintaan Allah. Maka orang yang berbuat taat telah menuruti 2 macam kehendak Allah ini. Adapun orang yang bermaksiat dia telah menyimpang dari Irodah Syar’iyah namun tidak terlepas dari Irodah Kauniyah. Lalu apakah orang yang bermaksiat ini terpuji? Jawabnya, Tidak. Karena dia telah melakukan perkara yang tidak dicintai d bahkan dibenci oleh Allah.
Keempat, Al Kholq (Tentang Penciptaan Segala Sesuatu Oleh Allah)
Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah makhluk ciptaan Allah baik itu berupa dzat maupun sifat, demikian juga seluruh gerak-gerik yang terjadi di dalamnya. Allah Ta’ala befirman, “Allah adalah pencipta segala sesuatu.” (Az Zumar: 62). Perbuatan hamba juga termasuk makhluk ciptaan Allah, karena perbuatan tersebut terjadi dengan kehendak dan kemampuan hamba; yang kedua-duanya ada karena diciptakan oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Allah-lah yang Menciptakan kalian dan amal perbuatan kalian.” (QS. Ash Shoffaat: 96)
Sumber Kesesatan Dalam Memahami Takdir
Sesungguhnya kesesatan dalam memahami takdir bersumber dari kesalahpahaman dalam memahami kehendak/irodah Allah. Mereka yang menganggap terjadinya kemaksiatan terjadi di luar kehendak Allah telah menyingkirkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah yang menunjukkan tentang Irodah Kauniyah. Orang-orang semacam ini akhirnya terjatuh dalam kesesatan tipe Qodariyah yang menolak takdir. Sedangkan mereka yang menganggap segala sesuatu yang ada baik ketaatan maupun kemaksiatan terjadi karena dicintai Allah telah menyingkirkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah yang mengancam hamba yang menyimpang dari Irodah Syar’iyah. Orang-orang semacam ini akhirnya terjatuh dalam kesesatan tipe Jabriyah yang menganggap hamba dalam keadaan dipaksa oleh Allah. Maha Suci lagi Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Maka Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah, mereka mengimani Irodah Syar’iyah dan Irodah Kauniyah, dan inilah pemahaman Nabi dan para sahabat.
Takdir Adalah Rahasia Allah
Ali bin Abi Tholib rodhiyAllahu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Setiap kalian telah ditulis tempat duduknya di surga atau di neraka.” Maka ada seseorang dari suatu kaum yang berkata, “Kalau begitu kami bersandar saja (tidak beramal-pent) wahai Rosululloh?”. Maka beliau pun menjawab, “Jangan demikian, beramallah kalian karena setiap orang akan dimudahkan”, kemudian beliau membaca firman Allah, “Adapun orang-orang yang mau berderma dan bertakwa serta membenarkan Al Husna (Surga) maka kami siapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail: 5-7). (HR. Bukhori dan Muslim). Inilah nasehat Nabi kepada kita untuk tidak bertopang dagu dan supaya senantiasa bersemangat dalam beramal dan tidak menjadikan takdir sebagai dalih untuk bermaksiat.
Pilih Mana: Jalan ke Surga Atau ke Neraka?
Apabila di hadapan anda terdapat 2 buah jalan; yang satu menuju daerah yang penuh kekisruhan dan ketidakamanan, sedangkan jalan yang satunya menuju daerah yang penuh ketentraman dan keamanan. Akan kemanakah anda akan melangkahkan kaki? Akal sehat tentu tidak memilih jalan yang pertama. Maka demikian pulalah seharusnya kita bersikap dalam memilih jalan yang menuju kehidupan akhirat kita, hendaknya jalan ke surga itulah yang kita pilih bukan sebaliknya. Alangkah tidak adilnya manusia yang memilih kesenangan duniawi dengan akalnya namun justeru memilih kesengsaraan akhirat dengan dalih takdir dan membuang akal sehatnya. Suatu saat ada pencuri yang hendak dipotong tangan oleh kholifah Umar, namun pencuri ini mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya aku mencuri hanya karena takdir Allah.” Umar pun menjawab, “Dan Kami pun memotong tangan dengan takdir Allah.” Lalu siapakah yang kejam? Bukan takdir Allah yang kejam tapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. WAllahu a’lam bish showaab
iman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Barangsiapa tidak mengimaninya sungguh dia telah terjerumus dalam kekafiran meskipun dia mengimani rukun-rukun iman yang lainnya. Walhamdulillah banyak diantara kaum muslimin yang telah mengenal takdir, akan tetapi amat disayangkan ternyata masih terdapat berbagai fenomena yang justru menodai bahkan bertentangan dengan keimanan kepada takdir.

Barangkali masih tersimpan dalam ingatan kita tatkala seorang artis mempopulerkan lagu ‘Takdir memang kejam’ yang sangat digemari oleh sebagian masyarakat negeri ini beberapa waktu lampau, yang menunjukkan betapa mudahnya masyarakat kita menerima sesuatu yang menurut mereka bagus namun pada hakikatnya justeru merusak akidah mereka. Karena itulah setiap muslim wajib membekali dirinya dengan pemahaman takdir yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rosul-Nya. Dalam mengimani takdir ada empat hal yang harus diyakini dalam dada setiap muslim yaitu al ‘ilmu, al kitabah, al masyi’ah dan al kholq.
Pertama, Al ‘Ilmu (Tentang Ilmu Allah)
Kita meyakini bahwa ilmu Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci yang terjadi sejak zaman azali (yang tidak berpermulaan) sampai abadi (yang tidak berkesudahan). Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al Hajj: 70). Allah sudah tahu siapa saja yang akan menghuni Surga dan siapa yang akan menghuni Neraka. Tidak ada satupun makhluk di langit maupun di bumi bahkan di dalam perut bumi sekalipun yang luput dari pengetahuan-Nya.
Kedua, Al Kitabah (Tentang Penulisan Ilmu Allah)
Kita meyakini bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ilmu-Nya tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam Lauhul Mahfuzh sejak 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis takdir seluruh makhluk ciptaan-Nya semejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim). Takdir yang ditulis di Lauhul Mahfuzh ini tidak pernah berubah. Berdasarkan ilmu-Nya, Allah telah menuliskan siapa saja yang termasuk penghuni surga dan siapa yang termasuk penghuni neraka. Namun tidak ada satu orangpun yang mengetahui apa yang ditulis di Lauhul Mahfuzh kecuali setelah hal itu terjadi.
Ketiga, Al Masyi’ah (Tentang Kehendak Allah)
Kita meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki kehendak yang meliputi segala sesuatu. Tidak ada satu perbuatan makhluk pun yang keluar dari kehendak-Nya. Segala sesuatu yang terjadi semuanya di bawah kehendak (masyi’ah) Allah, entah itu disukai atau tidak disukai oleh syari’at. Inilah yang disebut dengan Irodah Kauniyah Qodariyah atau Al Masyi’ah. Seperti adanya ketaatan dan kemaksiatan itu semua terjadi di bawah kehendak Allah yang satu ini. Meskipun kemaksiatan itu tidak diinginkan terjadi oleh aturan syari’at.
Di sisi lain Allah memiliki Irodah Syar’iyah Diniyah. Di dalam jenis kehendak/irodah yang kedua ini terkandung kecintaan Allah. Maka orang yang berbuat taat telah menuruti 2 macam kehendak Allah ini. Adapun orang yang bermaksiat dia telah menyimpang dari Irodah Syar’iyah namun tidak terlepas dari Irodah Kauniyah. Lalu apakah orang yang bermaksiat ini terpuji? Jawabnya, Tidak. Karena dia telah melakukan perkara yang tidak dicintai d bahkan dibenci oleh Allah.
Keempat, Al Kholq (Tentang Penciptaan Segala Sesuatu Oleh Allah)
Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah makhluk ciptaan Allah baik itu berupa dzat maupun sifat, demikian juga seluruh gerak-gerik yang terjadi di dalamnya. Allah Ta’ala befirman, “Allah adalah pencipta segala sesuatu.” (Az Zumar: 62). Perbuatan hamba juga termasuk makhluk ciptaan Allah, karena perbuatan tersebut terjadi dengan kehendak dan kemampuan hamba; yang kedua-duanya ada karena diciptakan oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Allah-lah yang Menciptakan kalian dan amal perbuatan kalian.” (QS. Ash Shoffaat: 96)
Sumber Kesesatan Dalam Memahami Takdir
Sesungguhnya kesesatan dalam memahami takdir bersumber dari kesalahpahaman dalam memahami kehendak/irodah Allah. Mereka yang menganggap terjadinya kemaksiatan terjadi di luar kehendak Allah telah menyingkirkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah yang menunjukkan tentang Irodah Kauniyah. Orang-orang semacam ini akhirnya terjatuh dalam kesesatan tipe Qodariyah yang menolak takdir. Sedangkan mereka yang menganggap segala sesuatu yang ada baik ketaatan maupun kemaksiatan terjadi karena dicintai Allah telah menyingkirkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah yang mengancam hamba yang menyimpang dari Irodah Syar’iyah. Orang-orang semacam ini akhirnya terjatuh dalam kesesatan tipe Jabriyah yang menganggap hamba dalam keadaan dipaksa oleh Allah. Maha Suci lagi Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Maka Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah, mereka mengimani Irodah Syar’iyah dan Irodah Kauniyah, dan inilah pemahaman Nabi dan para sahabat.
Takdir Adalah Rahasia Allah
Ali bin Abi Tholib rodhiyAllahu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Setiap kalian telah ditulis tempat duduknya di surga atau di neraka.” Maka ada seseorang dari suatu kaum yang berkata, “Kalau begitu kami bersandar saja (tidak beramal-pent) wahai Rosululloh?”. Maka beliau pun menjawab, “Jangan demikian, beramallah kalian karena setiap orang akan dimudahkan”, kemudian beliau membaca firman Allah, “Adapun orang-orang yang mau berderma dan bertakwa serta membenarkan Al Husna (Surga) maka kami siapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail: 5-7). (HR. Bukhori dan Muslim). Inilah nasehat Nabi kepada kita untuk tidak bertopang dagu dan supaya senantiasa bersemangat dalam beramal dan tidak menjadikan takdir sebagai dalih untuk bermaksiat.
Pilih Mana: Jalan ke Surga Atau ke Neraka?
Apabila di hadapan anda terdapat 2 buah jalan; yang satu menuju daerah yang penuh kekisruhan dan ketidakamanan, sedangkan jalan yang satunya menuju daerah yang penuh ketentraman dan keamanan. Akan kemanakah anda akan melangkahkan kaki? Akal sehat tentu tidak memilih jalan yang pertama. Maka demikian pulalah seharusnya kita bersikap dalam memilih jalan yang menuju kehidupan akhirat kita, hendaknya jalan ke surga itulah yang kita pilih bukan sebaliknya. Alangkah tidak adilnya manusia yang memilih kesenangan duniawi dengan akalnya namun justeru memilih kesengsaraan akhirat dengan dalih takdir dan membuang akal sehatnya. Suatu saat ada pencuri yang hendak dipotong tangan oleh kholifah Umar, namun pencuri ini mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya aku mencuri hanya karena takdir Allah.” Umar pun menjawab, “Dan Kami pun memotong tangan dengan takdir Allah.” Lalu siapakah yang kejam? Bukan takdir Allah yang kejam tapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. WAllahu a’lam bish showaab

Minggu, 26 Mei 2013

TERSANDUNG PESONA WAANITA

Bukan kali pertama sketsa politik dan kuasa melibatkan wanita. Pesona wanita sungguh berdaya magnet luar biasa. Ada orang yang sanggup melampaui godaan harta dan takhta, tetapi lumpuh menghadapi bujuk rayu wanita. Boleh jadi banyak pria mampu meretas berbagai masalah, tetapi tidak berkutik di bawah ketiak wanita.

Kecintaan kepada wanita memang merupakan fitrah manusia. “Dijadikan indah untuk manusia kecintaan pada segala yang diinginkan, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang baik” (QS Ali Imran: 14).

Sejarah juga mencatat, wanita kerap digunakan sebagai umpan. Inilah yang dilakukan kaum kafir Makkah ketika hendak menghalangi dakwah Nabi Muhammad. Namun, manusia mulia itu tegas menolak seraya berkata, “Demi Allah, andaikan matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, niscaya aku tidak akan berhenti dari dakwah sampai Allah memenangkan agama ini di atas selainnya.”

Kendati begitu, tidak mudah berlepas diri dari pesona kaum Hawa. Itulah yang pernah dirasakan manusia sekaliber Nabi Yusuf. Semata karena pertolongan Allah, Nabi Yusuf dapat selamat dari rayuan Zulaikha, istri Raja Mesir itu. “Sungguh wanita itu telah menginginkan Yusuf, dan Yusuf juga menginginkan wanita itu, andaikata dia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan Yusuf dari kemungkaran dan kekejian. Sungguh Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih” (QS Yusuf: 24).

Bahkan, muasal teguran Allah kepada Nabi Dawud adalah karena menikahi Sabigh binti Syaigh, wanita pinangan Uria bin Hannan (QS Shad: 21-26). Tepatlah kenapa Nabi Muhammad mewanti-wanti kita agar senantiasa bersikap ekstrawaspada terhadap wanita. 

“Sungguh dunia itu manis dan menghijau. Dan sungguh Allah menjadikanmu sebagai khalifah di dalamnya. Maka Allah akan melihat apa yang kamu kerjakan. Maka takutlah kepada dunia dan wanita. Karena sungguh fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah dalam hal wanita” (HR Muslim).

Dalam hadis lain juga dinyatakan secara tegas, “Tidak aku tinggalkan pada manusia godaan yang lebih dahsyat bahayanya bagi kaum pria kecuali godaan kaum wanita” (HR Tirmidzi). Dan fakta membuktikan, tidak sedikit orang besar terjatuh dalam kehinaan akibat tidak berdaya menghadapi wanita. Hasrat memiliki harta dan takhta belum dirasakan sempurna tanpa aroma wanita. Berhasil menggenggam ketiganya akan memunculkan kepuasaan tiada tara.

Lihatlah para penggenggam harta dan takhta. Mereka yang mulanya tampak arif dan setia pada keluarga, tiba-tiba terjerembab dalam perkara wanita. Karier yang moncer habis tiada sisa untuk ‘membeli’ wanita yang secara fisik menggoda dan mempesona. Karier Bill Clinton digoyang oleh kedekatannya dengan Monica Lewinsky. Direktur CIA Jendral Petraeus jatuh dari tampuk kuasa gara-gara terlibat perselingkuhan dengan Paula Broadwell, seorang penulis biografi.

Pengalaman negeri ini tidak jauh berbeda. Ironis. Tidak seharusnya wanita menjadi alat komoditi dan eksploitasi. Islam telah mendudukkan wanita dalam posisi yang sangat mulia. Martabatnya sebagai ibu bangsa. Pada pundak wanita, terletak masa depan tunas-tunas bangsa. Kisah perselingkuhan, gratifikasi, dan semacamnya yang melibatkan wanita jelas mencederai martabat ibu bangsa sekaligus bertentangan dengan Islam.

Tidak kalah penting, perlu adanya kesadaran dalam diri wanita. Kehendak menjadi ‘alat umpan’ kerap bermotif ingin meraup dunia tanpa bekerja. Saatnya wanita jangan menghinakan dirinya. Wanita adalah bunga dan perhiasan yang menjadi tempat berlabuh kebahagiaan keluarga. Itulah wanita shalihah. Yaitu wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak berada di tempat (QS An-Nisa: 34).

LET'S JOIN US

Dapatkan kebahagiaan : 

KEUNTUNGAN BERLIPAT

TOUR KE MANCA NEGARA

KENDARAAN IMPIAN ANDA


UANG SEHINGGA RATUSAN JUTA RUPIAH


COBA SAJA...........


Bergabung Seperti Saya dan Ribuan Orang lainnya  bersama Dalam bisnis Advertising berbasis internet online bersama Bidvertiser, Point2 Shop dan Chitika

ikon BidVertiser, Point2 Shop dan CHITIKA di web ini :



Sabtu, 25 Mei 2013

BAHAYA GHIBAH 2

kadang-kadang tanpa sadar kita bisa saja melakukan ghibah. Bagaimana batasan-batasan dalam ngobrol, agar tidak jatuh ke dalam ghibah.

Mungkin ghibah ini memang aktivitas yang disukai manusia. Kita sendiri sering menyaksikan, betapa asyiknya ketika menggunjingkan atau membicarakan orang lain. Bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya bukan urusan kita, itu sering sekali kita bicarakan dan bahas. Padahal bisa jadi ini adalah ghibah. Dan ketika terjadi ghibah, tidak jarang kemudian terserempet kepada fitnah. Ini jauh lebih berbahaya lagi. Misalnya, kita melihat ada tetangga kita A (laki-laki)  datang ke rumah  tetangga kita yang lain,  kebetulan perempuan (B). Kemudian kita bercerita kepada tetangga kita yang lain lagi (C); Eh saya tadi liat A datang ke rumah B lho. Dengan membawa bungkusan. Wajahnya senyum-senyum. Mungkin saja memang sampai berita ini faktanya benar. Tetapi kemudian dilanjutnya: eh sepertinya suaminya B lagi keluar kota tuh. Ada apa ya kok A datang ke rumah B padahal suaminya lagi keluar kota. Nah sampai titik ini mulai muncul dugaan (karena ada kata sepertinya).  Kemudian ketika melanjutkan dengan kalimat: Jangan-jangan mereka selingkuh tuh. Mulai muncul tuduhan. Kemudian sesudah pertemuan itu, beredar berita bahwa A selingkuh dengan B, berita ini dari C. Berkembanglah fitnah. Karena memang faktanya tidak demikian. Bisa jadi A menitipkan bungkusan dari istrinya untuk B, Kemudian B ini suaminya sudah pulang dari luar kota, dan masih banyak fakta lain yang sebenarnya dalam perbincangan tadi sifatnya masih menduga-duga. Membicarakan yang benar saja, sudah masuk dalam ghibah, ketika tidak benar maka sudah terjerumus dalam fitnah.

Bagaimana hukumnya orang yang melakukan ghibah?

Hukumnya haram, sebagaimana firman Allah dalam QS al Hujurat: 12:”Walaa yaghtab ba’dhukum ba’dhan ayuhibbu ahadukum  an ya’kula lahma akhiihi maytan fakarihtumuuhu wattaqullaaha innallaaha tawwaaburrahiim: Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:”Tahukah kalian apa ghibah itu?” Para shahabat berkata,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui. Rasulullah Saw bersabda: Dzikruka akhaaka bimaa yakrahu. Ghibah adalah jika engkau menceritakan saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.” Para shahabat berkata,”Bagaimana pendapat engkau jika apa yang kukatakan itu ada padanya?” Rasulullah Saw bersabda,”Apabila apa yang kau katakan ada padanya, maka engkau telah menggunjingnya. Apabila yang engkau katakan tidak ada padanya, maka engkau telah memfitnahnya.” (HR Muslim)

Terkait dengan desas desus, apakah dikategorikan dengan ghibah atau fitnah?

Desas-desus, adalah satu berita yang belum jelas faktanya. Sehingga membicarakan hal ini, selain kategorinya ghibah ketika memang benar faktanya. Maka bisa termasuk dalam fitnah ketika faktanya keliru. Di sinilah kita harus berhati-hati dan menghindari memperbincangkan atau bahkan menghukumi suatu fakta berdasarkan desas desus. Apalagi kalau itu terkait dengan seorang muslim. Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: Kullu muslimi ‘alal muslimi haraamun dammuhu wa maaluhu wa ‘irdhuhu: Setiap muslim atas muslim yang lain haram darahnya, kehormatannya dan hartanya. (HR.Muslim)


Dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda kepada para shahabat: Maukah kalian mengetahui riba yang paling besar di sisi Allah? Mereka berkata,”Allah dan rasulNya lebih mengetahui. Rasulullah Saw bersabda,” Sesungguhnya riba yang paling besar di sisi Allah adalah menghalalkan kehormatan seorang muslim untuk dicemari. Kemudian Rasul Saw membacakan firman Allah (QS al Ahzab:58):”Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”

Orang yang tidak berusaha menjaga kehormatan saudaranya padahal ia mampu melakukannya, berarti ia telah menghinakannya. Hadits Jabir riwayat Abu Dawud, al Haitsami berkata:”Sanadnya hasan”, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: Seorang muslim yang menghinakan muslim yang lain pada saat dirusak kehormatannya dan harga dirinya, maka pasti Allah akan menghinakannya pada saat ia menginginkan pertolongan dari Allah. Seorang yang membela seorang muslim pada saat dicemari harga dirinya dan dirusak kehormatannya, maka Allah akan membelanya pada saat ia menginginkan pertolongan dari Nya.

Apa yang harus dilakukan seorang muslim ketika mendengar desas-desus? Karena khawatir bisa terperosok dalam perbuatan ghibah dan fitnah?

Terkait dengan masalah ghibah dan fitnah ini, memang yang terpenting adalah diri kita sendiri. Agar kita bisa menghindari perbuatan tersebut. Secara khusus adalah melihat kepada diri kita kita sendiri, apakah kita masih berghibah, sehingga bagaimana caranya agar kita menjauhkan diri dari ghibah. Jadi bukan sekedar mengklaim orang lain berghibah atau tidak, karena orang lain, biarkan itu menjadi urusan Allah. Tapi tentu pribadi kita sendiri, semoga saja selamat dari perbuatan tersebut. Karena desas desus adalah hal yang bisa menjerumuskan dalam ghibah dan fitnah sekaligus, maka kita harus menghindari. Pertama bila mendengar desas desus, maka jangan dipedulikan. Jauhilah. Anggaplah itu godaan setan yang bisa menjerumuskan. Kemudian dalam menerima berita, sangat sulit menerimanya dari yang bukan sumbernya. Untuk itu anggaplah desas desus yang harus dijauhi, sehingga kita tidak terjebak dalam kesalahan. Termasuk berita-berita infotaintmen, sebenarnya itu termasuk berita yang kategorinya banyak yang masih desas-desus.

Apakah ada kondisi tertentu, kita dibolehkan membicarakan orang?

Ada hal tertentu, dimana para ulama membolehkan ghibah. Yakni karena enam alasan: (1) mengadukan kezhaliman (2) menjadikan ghibah sebagai jalan mengubah kemungkaran (3) meminta fatwa (4) memberikan peringatan kepada kaum muslimin dari kejahatan (Hal ini termasuk dalam kategori nasihat), (5) menceritakan orang yang terang-terangan melakukan kefasikan dan bid’ah. (6) mencari rawi dan saksi yang cacat. Ini semua ditujukan untuk melakukan kebaikan. Tentu harus sangat berhati-hati karena semuanya harus dilakukan untuk kepentingan yang baik dalam rangka menegakkan hukum syara. Bukan yang lain, seperti mencari manfaat atau kepentingan yang lain selain penegakan hukum syara’. Di sinilah keimanan dan ketaqwaan yang kuat harus melekat pada diri setiap muslim