Masih banyak orang salah paham mengenai proses menuju jenjang
pernikahan. Mereka tidak tahu bagaimana syariat Islam yang sempurna ini
telah mengajarkan jalan untuk mencari jodoh. Sehingga banyak di antara
mereka terjatuh dalam hubungan yang tidak halal seperti pacaran atau
tunangan. Menurut mereka, mencari jodoh itu perlu interaksi langsung
yang tidak sebentar, bahkan bertahun-tahun. Maka berlalulah waktu yang
panjang itu dengan dipermainkan oleh syaithan dalam kubangan dosa dan
fitnah tanpa kepastian dan kejelasan.
Walaupun akhirnya ada yang menjadi pasangan suami istri, tapi
pernikahan yang terjadi dibangun di atas cinta yang terlarang. Sehingga
menjadi hilanglah nilai ibadah dari pernikahan, karena tidak bermula
dari niat yang tulus dan suci dalam bingkai ketaatan untuk meneladani
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam serta untuk mewujudkan
tujuan syar’i pernikahan. Oleh karena itu, agar pernikahan menjadi
sebuah amalan ibadah yang berat dalam timbangan, marilah kita pelajari
bimbingan agama Islam yang mulia ini tentang cara mencari pasangan
hidup.
1. Ta’aruf (berkenalan dengan pasangan)
Mengambil teladan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan
para shahabat, akan kita ketahui bahwa dalam proses pernikahan beliau
dan para shahabatnya jauh dari perkara-perkara yang mengandung dosa. Hal
tersebut dikarenakan proses menuju pernikahan melalui para wali pihak
wanita atau perantara pihak ketiga yang terpercaya. Begitu pula, yang
dilakukan seorang yang ingin mengenal calon pasangannya. Hendaknya
mereka melibatkan wali atau kerabat dari wanita untuk ikut berperan.
Bisa juga dengan meminta tolong orang lain yang amanah sebagai pihak
ketiga untuk memperantarai proses ta’arufnya. Melalui perantara mereka
kita bisa mengenali calon pasangan yaitu dengan mengetahui asal,
keturunan, keluarga, akhlak, dan informasi-informasi lain yang
dibutuhkan. Demikianlah tuntunan indah ajaran Islam. Melalui proses
ta’aruf yang syar’i terjagalah kehormatan wanita dan laki-laki, dan
terjauhkannya mereka dari perbuatan-perbuatan zina sebagaimana yang
terjadi dalam jalinan haram bernama “pacaran”.
2. Nazhar (melihat calon pasangan)
Mengenal jati diri calon pasangan terkadang belum cukup memantapkan
hati untuk selanjutnya menjatuhkan lamaran. Terlebih, informasi dari
pihak ketiga atau orang lain tentang sifat dari rupa seseorang merupakan
penilaian yang masih relatif. Sehingga ada perasaan mengganjal di hati
manakala sosok yang akan terpilih menjadi pasangan hidup tidak diketahui
jelas akan parasnya. Segala puji bagi Allah, keganjalan hati tersebut
sirna dengan syariat nazhar yang diperintahkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wassalam kepada seorang sebelum memutuskan untuk meminang
wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda yang artinya,
“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas
untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua.” (HR. An-Nasa’i
dan At-Tirmidzi dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam
Ash-Shahihah) Melalui nazhar, seseorang dapat menemukan sesuatu yang
bisa menarik hatinya untuk kemudian menikahinya. Dan melalui nazhar
keputusan akhir akan mengkhitbah (melamar) atau tidak lebih mudah untuk
ditetapkan. Namun, perintah nazhar tentu bukanlah sekedar perintah tanpa
ada batasan. Terlebih mengingat bahwa wanita yang sedang di-nazhar
adalah wanita ajnabi (asing) yang statusnya masih haram untuknya. Oleh
karena itu, ketika nazhar hendaknya disertai oleh mahram dari wanita dan
melihat pada bagian yang biasa nampak darinya berupa anggota wudhu
tanpa diikuti oleh syahwat.
3. Khitbah (proses melamar)
Setelah melewati nazhar dan hati menjadi yakin untuk merajut tali
pernikahan, maka sebelum meminang sangat dianjurkan untuk terlebih
dahulu melakukan shalat istikharah. Bahkan shalat istikharah disunnahkan
sebelu melakukan segala sesuatu. Tidak lain agar dimudahkan sebab-sebab
yang mengantarkan pada perkara yang sedang dihadapi. Setelah itu
barulah ia utarakan maksud hatinya untuk memperistri wanita tersebut
kepada walinya. Namun sebelum disampaikan lamaran seseorang harus
mengetahui adab dalam meng-khitbah agar kelanjutan proses pernikahannya
tidak terkotori dengan rasa permusuhan antara sesama muslim. Adab
meng-khitbah yaitu seseorang tidak boleh meminang wanita yang telah
dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi wanita tersebut
atau meninggalkannya. Demikianlah syariat Islam menjaga kesucian proses
pernikahan dari noda-noda yang bisa merusak persaudaraan.
4. Akad Nikah
Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan sudah seharusnya menjadi hal
yang selalu dikedepankan dalam setiap urusan yang sedang kita hadapi.
Terlebih bagi seorang yang akan melangsungkan peristiwa penting berupa
akad nikah. Sebuah perjanjian untuk menjadi pasangan suami istri. Allah
menamakannya dengan mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kuat) untuk
sebuah ikatan suci dan agung berupa pernikahan. Oleh karenanya, sebelum
melangsungkan akad nikah seseorang perlu mengetahui rukun dan syarat
dari akad nikah. Karena keberadaan keduanya menentukan sah tidaknya
pernikahan dari segi hukum syariat. Ketidaktahuan terhadap perkara
tersebut akan memunculkan permasalahan yang besar, sebagaimana ketika
seorang wanita menikah tanpa wali maka tentu pernikahannya tidak sah.
Rukun akad yaitu adanya calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi,
mahar, serta ijab dan qabul. Syarat akad yaitu kejelasan individu kedua
mempelai, keridhaan masing-masing pihak untuk menikah, mahar dan wali
bagi wanita. Demikian tahapan-tahapan yang dituntunkan dalam menapaki
tangga menuju pernikahan yang teruntai pada kesempurnaan syariat Islam
nan suci. Semoga Allah senantiasa membimbing setiap langkah kita dalam
perjalanan menuju kepada-Nya. Amiin. Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar