1

Sabtu, 06 Juli 2013

Penggunaan Ilmu Astronomi Dalam Penentuan Waktu Shalat

A. Waktu-waktu Shalat

Dari keterangan al-Qur’an, hadits-hadits Nabi Muhammad SAW dan berdasarkan berbagai penelitian dalam ilmu Falak, maka dapat dijelaskan secara rinci ketentuan aktu-waktu shalat sebagai berikut:
1. Awal Waktu Zhuhur
            Waktu dzuhur dimulai apabila matahari tergelincir pada tengah hari tepat. Dalam Al-qur’an Surah Al-Isra ayat 78 difirmankan dengan “lidulikisysyamsi” yakni sejak tergelincir matahari. Dalam ilmu Falak dikenal dengan istilah matahari berkulminasi yaitu sesaat setelah matahari mencapai kedudukannya yang tertinggi di langit dalam perjalanan hariannya sampai datangnya waktu ashar.

2. Awal Waktu Ashar
            Waktu ashar selama matahari belum menguning dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i, dan Tirmidzi dari Jabir bin Abdullah ra. Disebutkan dimulai apabila panjang bayang-bayang sebuah benda sama panjang dengan bendanya, Dalam surah Qaaf ayat 39 disebutkan awal aku shalat adalah “qablaghuruub” yakni sampai sebelum terbenamnya matahari.

3. Awal Waktu Maghrib
            Waktu maghrib dimulai sejak matahari terbenam atau sperti yang disebutkan dalam surah Hud ayat 114 sebagai “zulafam minal lail” yakni bagian permulaan malam yang ditandai dengan terbenamnya matahari atau terlihatnya mega merah dilangit sampai datangnya waktu isya atau hilangnya mega merah.

4. Awal Waktu Isya
            Waktu isya dimulai sejak hilangnya syafaq (mega merah pada awan dilangit bagian barat dan berakhirnya saat datangnya fajar(awal waktu shubuh).

5.. Awal Waktu Imsak
            Waktu imsak merupakan waktu ihtiyat(hati-hati) untuk imsak dalam melakukan puasa. Sebagai dasarnya hadits dari Anas bin Zaid bin Tsabit, ia berkata “kami sahur bersama Rasulullah kemudian kami melakukan shalat shubuh” saya berkata; “berapa lama ukuran antara sahur dan shubuh”? nabi bersabda :”seukuran membaca 50 ayat al-Qur’an” para ulama berbeda pendapat tentang lama membaca 50 ayat tersebut, ada yang mengatakan lamanya selama melakukan wudlu, ada yang menyatakan lamanya sekitar 12 menit.

6. Awal Waktu Shubuh
            Waktu shubuh dimulai sejak terbit fajar dan berakhir saat terbit matahari. Atau dalam surah At-Thuur ayat 49 waktu shubuh dimulai sejak “idbarannujum” yakni menghilangnya atau meredupnya bintang-bintang dan berakhhir seperti yang disebutkan dalam surah Qaaf ayat 39 saat “ thuulu ‘isysyamsi” yakni terbitnya matahari.

7. Waktu Terbit
            Terbit matahari ditandai dengan piringan atas matahari bersinggungan dengan ufuk sebelah timur, sehingga ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk maghrib berlaku pula untuk waktu matahari terbit.

8. Waktu Dhuha
            Dalam wacana fiqh, awal Dhuha dimulai sejak matahari naik setinggi tombak.

B. Kedudukan dan Tinggi Matahari dalam Penentuan Waktu Shalat.
                  Bertolak dari ketentuan-ketentuan syar’i tentang waktu-waktu shalat diatas, yakni tergelincirnya matahari panjang pendeknya bayang-bayang sesuatu, terbenam matahari dan lain sebagainya, seluruhnya merupakan fenomena matahari. Sementara yang dimaksud dengan tinggi matahari dalam kajian ini adalah ketinggian posisi matahariyang terlihat pada awal dan akhirwaktu shalat yang di ukur dari ufuk. Karena itu, dalam penentuan awal waktu shalat,m data astronomi (zij) terpenting adalah posisi matahari, terutama tinggi, h, atau jarak zenit (bu’du as-sumti), Zm= 90۫ – h. fenomena awal fajar (morning twislight), matahari terbit (sunrise), matahari melintasi meridian (culimination), matahari terbenam (sunset), dan akhir senja (evening twilight) berkaitan dengan jarak zenit matahari.
            Kedudukan dan tinggi matahari dalam penentuan awal waktu shalat adalah sebagai berikut:
1. Tinggi Matahari Awal Waktu Zhuhur
            Sebenarnya data tinggi matahari untuk menghitung awal waktu zhuhur tidak diperlukan karena data untuk awal waktu zhuhur secara langsung dapat dilihat almanak-almanak astronomis yaitu data saat matahari berkulminasi. Pada hakeketnya waktu zhuhur dimulai sesaat matahari terlepas dari titik kulminasi atas, atau matahari terlepas dari meridian langit, biasanya biambil sekitar 2 menit setelah lewat matahari.
            Pada saat itu waktu pertengahan belum tentu menujukkan jam 12, melainkan kadang masih kurang atau bahkan sudah lebih dari jam 12 tergantung pada nilai equation of time (e). Oleh karenanya, waktu pertengahan pada saat matahari berada di meridian (Meridian Pass) dirumuskan dengan MP = 12-e. sesaat waktu itulah sebagai permulaan waktu zhuhur menurut waktu pertengahan dam waktu ini pulalah sebagai pangkal hitungan untuk waktu-waktu shalat lainnya.

2. Tinggi Matahari Awal Waktu Ashar
            Awal waktu ashar dimulai ketika bayangan matahari sama dengan benda tegaknya, artinya apabila pada saat matahari berkulminasi atas membuat  bayangan senilai 0 (tidak ada bayangan) atau juga pada saat panjang bayang-bayang dua kali panjang dirinya yaitu apabila matahari berkulminasi sudah mempunyai bayangan sepanjang benda tegaknya. Keadaan seperti ini dipengaruhi oleh deklinasi matahari. Berdasarkan penjelasan diatas maka secara astronomis tinggi matahari pada awal waktu ashar ada dua pendapat.
1. Apabila bayang-bayang suatu benda sama panjang dengan bendanya maka tinggi matahari dapat dirumuskan dengan:
Cotan ashar = tan /p-δ/+1
atau
Cotan ashar = tan ZM + 1 ø

2. Apabila bayang-bayang suatu benda dua kali panjang bendanya, maka tinggi matahari dapat dirumuskan dengan:
            Cotan ashar = tan /p-δ/ + 2
            atau
            Cotan ashar = tan ZM + 2

            Sementara panentuan awal waktu asharnya di selesaikan dengan rumus:
            Cos t = -tanφ tan δ + sin ashar : cos φ : cos φ, kemudian ditambah  atau dikurang dengan koreksi waktu dan ihtiyat.

3. Tinggi Matahari Awal Waktu Maghrib
            Waktu maghrib dirumuskan secara astronomis sebagai keadaan bila piringan bagian atas matahari berimpit dengan ufuk mar’I (horison visible atau horison yang terlihat) . Piringan matahari berdiameter 32 menit busur, setengahnya berarti 16 menit busur, selain itu di dekat horison terdapat refraksi (inkisar al-jawwi) yang menyebabkan kedudukan matahari lebih tinggi dari kenyataan sebenarnya yang diasomsikan 34 menit busur.  Selanjutnya oleh ketinggian mata kita di atas perrmukaan bumi menjadikan ufuk mar’i teerlihat lebih rendah, peristiwa ini disebut dengan kerendehan ufuk. Keadaan-keadaan itu seetelah dilakukan penelitian astronomis bahwa jaraj zenit matahari pada saat itu = 90۫˚ + (34΄ + 16΄ + 10) untuk tempat yang berada di tepi pantai, atau sama dengan 91۫˚ atau dengan demikian tinggi matahari pada saat itu = -1˚. Untuk tempat-tempat lain hendaknya disesuaiakan tinggi tempat itu dan pengaruhnya terhadap kerendahan ufuk dengan rumus D΄= 1,75√m.
            Untuk penentuan maghrib diselesaikan dengan rumus
(Cos t = -tan φ tan δ + sin -1˚ : cos φ : cos δ )
Untuk penentuan waktu maghrib, saat matahari terbenam biasanya ditambah 2 menit karena ada larangan melakukan shalat tepat saat matahari terbit, terbenam, atau kulminasi atas.

4. Tinggi Matahari Awal Waktu Isya
            Menurut pengertian astronomi waktu isya  saat dimana bintang-bintang di langit cahayanya mencapai titik maksimal saat pecinta perbintangan mulai melakukan aktifiitasnya (astronomical twilight). Dimana tinggi matahari pada saat itu sudah mencapai -18˚. Untuk penentuan awal waktu isya dicari dengan rumus :
            Cos t = -tan φ tan δ + sin -18˚ : cos φ : cos δ, selanjutnya koreksi waktu dan ihtiyat.

5. Tinggi Matahari Waktu Imsak
            Terdapat banyak perbedaan pendapat jarak waktu imsak yangdiisyaratkan nabi seukuran membaca 50 ayat al-Qur’an . salah satunya menurut Muhyiddin Khazin dalam bukunya “Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik” waktu yang diperlukan untuk membaca 50 ayat al-Qur’an itu sekitar 8 menit maka itu sama dengan 2˚k tinggi matahari pada waktu imsak (h im) ditetapkan -22˚ dibawah ufuk timur atau h im = -22˚.

6. Tinggi Matahari Awal Waktu Shubuh
            Fenomena awal shubuh hampir sama dengan awal isya. Apabila isya ditandai dengan bintang-bintang dilangit cahayanya mencapai titik maksimal akibat hilangnya cahaya merah di langit sebelah timur yang menandakan adanya perubahan dati terng ke gelap, maka shubuh ditandai dengan mulai surtnya cahaya bintang-bintang dilangit disebabkan oleh pengaruh sinar matahari yang datang dilangit sebelah timur yang menandakan adanya perubahan dari gelap ke terang. Pada saat itu jarak zenit matahari adalah 90˚ + 20˚ atau tinggi matahari pada saat itu = -20˚. Untuk menentukan awal waktu isya dapay dicari dengan rumus :
(Cos t = -tan φ tan δ + sin -20˚ : cos φ : cos δ.)

7. Tinggi Matahari Waktu Terbit
            Terbitnya matahari ditandai dengan piringan atas matahari bersinggungan dengan ufuk sebelah timur, sehingga ketentuan yang berlaku pada waktu maghrib berlaku pula untuk waktu matahari terbit. Oleh karena itu, waktu shubuh ditandai dengan posisi matahari berada pada ketinggian matahari -1˚ disebelah timur.

8. Tinggi Matahari Waktu Dhuha
            Waktu dhuha dimulai ketika matahari setinggi tombak, dapat pula diaplikasikan dengan ukuran falakiyah apabila matahari naik setinggi 3˚ 30˚ oleh karena itu h dl =  3˚ 30˚

C.     Data-data yang Diperlukan Untuk Menghitung Awal Waktu Sholat.
a)   Meridian Pass (MD)
Saat matahari berkulminasi dinyatakan dengan istilah Meridian Pass (MP). Data saat kulminasi matahari dapat diperoleh dengan cara mengurangi Waktu Hakiki (waktu matahari) dengan Perata Waktu (Equation Of Time, yang disimbolkan dengan e). dengan demikian MP dapat dirumuskan, MP = kulminasi – equation of time = 12-e
           
b)   Sudut Waktu Matahari Awal Waktu Shalat (t)
Sudut waktu disebut juga hour Angel/Fadl Al-dair adalah jarak antara suatu benda langit dengan titik kulminsinya atau sudut yang dibentuk oleh lingkaran deklinasi suatu benda langit dengan lingkaran meridian. Lambang Sudut Waktu ialah huruf (t) kecil.
           
Ada beberapa rumus yang digunakan untuk menghitung Sudut Waktu Matahari, yaitu :
·        j : Lintang Tempat.
Data ini dapat diperoleh dari almanak, atau referensi lainnya. Misalnya Jamiliyah, atau Atlas Der Gehele Aarde, dll.

·        d : Deklinasi Matahari
Yaitu jarak posisi matahari dengan ekuator langit diukur sepanjang lingkaran deklinasi atau Lingkaran Waktu.

·        z : Jarak Zenith
Data z ini digunakan untuk mencari t (sudut waktu) matahari. Darai sudut waktu inilah kemudian dicari awal waktu shalat.

·        h : Ketinggian Matahari
yaitu tinggi matahari untuk awalwaktu-waktu shalat.

c)    Koreksi Waktu Daerah (KWD)
KWD = ((LMT – 1) / 15)
I           = Bujur daerah (markas)
LMT   = Lokal Mean Time (waktu standar daerah), yaitu :
WIB = 105˚, WITA = 120˚, WIT = 135˚

d)   Ihtiyath
Ihtiyath yang diartikan “pengaman”, yaitu suatu langkah pengaman dalam perhitungan awal waktu shalat dengan cara menambah atau mengurangi sebesar 1 s/d 2 menit waktu dari hasil perhitungan yang sebenarnya.
Ihtiyath yang dimaksudkan :
          Agar hasil perhitungan dapat mencakup daerah-daerah sekitarnya, terutama yang berada di sebelah baratnya. 2 menit = ± 27,5 km. Menjadikan pembulatan pada satuan terkecil dalam menit waktu, sehingga penggunaannya lebih mudah.
·        Untuk memberikan koreksi atas kesalahan dalam perhitungan, agar menambah keyakinan bahwa waktu shalat benar-benar sudah masuk, sehingga ibadah shalat itu benar-benar dilaksanakan dalam waktunya.



DAFTAR PUSTAKA

Khanzin, Muhyiddin. 2004. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik.Yogyakarta:Buana Pustaka.

Izzuddin, Ahmad. 2006. ILMU FALAK PRAKTIS (Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi Permasalahannya). Semarang: Komala Grafika Dengan IAIN Walisongo.

Azhari, Susiknan, Dr, MA. 2007. ILMU FALAK Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Murtadho, Moh, Drs, M.HI. 2008. Ilmu Falak Praktis. Malang: UIN-Malang Press.

 Toruan, M. S. L. 1957. Ilmu Falak (Kosmografi). Semarang: Banteng Timur

 Maskufa, Dra, MA. 2009. Ilmu Falaq. Jakarta: Gaung persada (GP Press)

Rachim, Abdul, Drs. 1983. Ilmu Falak. Yogyakarta: Liberty 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar