1

Sabtu, 06 Juli 2013

Pendapat Ulama Fiqih Tentang Penentuan Awal Bulan Qamariyah

1. Sejarah Hisab dan Rukyah
            Berbicara masalah penentuan awal bulan Qamariah, khususnya pada bulan-bulan yang erat kaitannya dengan masalah ibadah seperti bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, kita tidak akan terlepas dari dua metode penting, yaitu metode hisab dan metode rukyah. Untuk itu sebelum kita menuju kepermasalahan sebaiknya kita harus tahu dulu sejarah singkat mengenai Hisab dan Rukyah. 
Secara historis, antara hisab dan rukyah, ulama sepakat bahwa rukyahlah yang lebih dulu ada dan berkembang dikalangan umat islam dibandingkan hisab. Bahkan menurut Ibnu Taimiyah bahwa syariat-syariat sebelum kita juga mengaitkan hukum-hukum mereka dengan melihat (rukyah) hilal. Hanya saja diantara pengikutnya ada yang merubahnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi yang menentukan hukum-hukum mereka dengan hisab, yakni pada saat terjadinya ijtima’ serta menjadikan sebagian hari rayanya menggunakan kalender syamsiyah. Sebagaimana juga yang dilakukan oleh orang-orang Nashara,   Shabiah dan Majusi.
             Pada saat Nabi Muhammad SAW. berada di Madinah yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian bercocok tanam, mereka menggunakan sistem penanggalan Qamariah untuk menentukan awal bulan yaitu dengan melihat fase-fase perubahan bulan itu dalam tiap  bulannya. Akan tetapi, dengan penalanggalan ini mereka mengalami kesulitan untuk menentukan musim yang sangat mereka perlukan. Maka mereka menggabung penanggalan Qamariah itu dengan penanggalan syamsiah. Akibatnya, dalam setiap tiga tahun Qamariyah akan ada bulan ke 13. Bulan ke 13 itu mereka gunakan untuk melakukan upacara ritual dan pesta pora yang menyesatkan.
            Kemudian turunlah wahyu Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk meluruskan tradisi tersebut yaitu yang tertera dalam Surah At-Taubah ayat 36 yang Artinya:  “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
            Dengan turunnya ayat ini yang menjelaskan bahwa bilangan bulan disisi Allah berjumlah 12 bulan, dengan dasar inilah Nabi Muhammad SAW melakukan perubahan pertama yang mendasar terhadap penanggalan yang berlaku di Madinah yaitu dengan menghapus adanya bulan yang ke 13.
            Selanjutnya pada tahun ke 2 Hijriyah Nabi SAW diperintahkan Allah SWT untuk berpuasa pada bulan Ramadhan seperti yang tersurat pada firman Allah SWT yang tertera pada ayat 183 dan 185 yang artinya:
183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
            Dari ayat inilah Allah SWT dengan perantara rasulnya Muhammad SAW mewajibkan berpuasa  kepada seluruh umat islam, sebagaimana Allah SWT telah mewajibkan puasa kepada umat-umat terdahulu. Kemudian Nabi pun menjelaskan pada masyarakat pada saat itu bahwa umur bulan Qaamariah itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. Dan Nabi SAW juga menjelaskan mengenai teknis bagaimana pergantian antar bulan  itu terjadi- mengenai bulan mana yang berumur 29 hari dan yang berumur 30 hari, maka Nabi SAW menerangkan dengan sabdanya:

حدثنا عبد الرحمن بن سلام , حدثنا الرابيع (يعني ابن مسلم)عن محمد (وهو ابن زياد)عن أبي هريرة ان النبي ص.م قال: "صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فإن غمى عليكم فأكملواالعدد" (رواه مسلم في كتاب الصوم)

Artinya: “ Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Apabila hilal itu tertutup awan atasmu maka sempurnakanlah bilangan itu (bilangan bulan sya’ban tiga puluh)”. (Diriwayatkan oleh Muslim)

حدثنا آدم حدثنا شعبة حدثنا محمد بن زياد قال: سمعت ابا هريرة رضي الله عنه يقول: قال النبي ص.م: "صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فإن غبى عليكم فأكملواا عدة شعبان ثلاثين "(روه البخاري في كتاب الصيام)

Artinya: “ Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Apabila hilal itu tertutup debu atasmu maka sempurnakanlah bilangan sya’ban tiga puluh”.
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari)
            Berdasarkan dua hadits′ inilah Nabi SAW mengisyaratkan kepada kita bahwa untuk mengetahui pergantian bulan adalah dengan menggunakan rukyatu hilal. Apabila hilal sudah berhasil dilihat tanpa ada kendala apapun maka dapat dipastikan bahwa keesokan harinya sudah masuk bulan baru atau tanggal satu bulan berikutnya. Namun apabila hilal tidak berhasil dilihat karena tertutup awan atau hal lain yang mengakibatkan tidak terlihatnya hilal maka keesokan harinya masih merupakan bulan yang masih berjalan atau dengan menyempurnakan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Hal inilah yang disebut dengan istikmal.
            Sebagai implementasi dari hadis′ itu para sahabat berusaha melihat hilal sesaat setelah matahari terbenam pada Jum’at  malam Sabtu tanggal 29 Sya’ban tahun ke 2 H. Akan tetapi, rukyahnya tidak berhasil. Berita ini kemudian disampaikan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi menetapkan bahwa bulan Sya’ban tahun ini berumur 30 hari. Selanjutnya, pada hari Ahad petang tanggal 29 Ranadhan tahun itu pula para sahabat berusaha untuk melihat hilal dan mereka berhasil. Berita keberhasilan itu disampaikan kepada Nabi. Nabi kemudian memerintahkan kepada para sahabatnya untuk mengakhiri puasa pada malam iotu juga. Maka, pada tahun itu Nabi SAW dan para sahabatnya berpuasa selama 29 hari.
            Dari beberapa keterangan diatas, dapat kita ambil beberapa kesimpulan. Pertama, perubahan hari dalam sistem penanggalan Qamariyah terjadi pada awal malam yaitu sesaat setelah matahari terbenam. Kedua, umur bulan terkadang 29 terkadang 30. umur bulan 29 hari apabila hilal berhasil diihat pada hari itu, sedangkan apabila hilal tidak berhasil dilihat karena ada sesuatu yang menghalanginya maka bilangan bulan diempurnakan menjadi 30 hari. Ketiga, jumlah bulan pada setiap tahunnya adalah 12 bulan bukan 13 bulan seperti perhitungan yang dilakukan oleh orang-orang dahulu.
            Sementara itu penggunaan metode hisab yang berarti menentukan kedudukan matahari ataupun bulan sehingga dapatlah diketahui kedudukan matahari dan bulan tersebut pada bola langit disaat-saat tertentu, sebagai salah satu metode  dalam menentukan tanggal baru bulan Qamariah khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah apabila kita lihat sejarah awal terbentuknya disiplin ilmu ini bukanlah hal yang baru, bahkan ilmu menurut Zubaer Umar Al-Jailany dalam bukunya “ Khulasatul Wafiyah” orang yang pertama kali yang menemukan ilmu hisab adalah Nabi Idris as.
           Sekitar abad ke-28 SM embrio ilmu ini mulai tampak. Ilmu ini digunakan untuk menentukan waktu bagi saat-saat penyembahan berhala. Keadaan seperti ini sudah tampak di beberapa negara seperti di Mesir untuk menyembah dewa Orisis, Isis, dan Amon, di Babilonia dan Mesopotamia untuk menyembah dewa Astoroth dan Baal.
Dalam dunia Islam, Khalifah Abu Ja’far al-Mansur adalah orang yang pertama kali memperhatikan ilmu hisab ini. Beliau memerintahkan kepada Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari untuk menerjemahkan kitab “Sindhind” atau “Sidhanta”  sebuah kitab astronomi yang diserahkan oleh pengembara India. Atas usaha inilah al-Fazari dikenal sebagai ahli falak yang pertama didunia islam.
            Di Indonesia, sejak masa-masa kerajaan islam berjaya, orang-orang muslim pada saat itu sudah menggunakan penanggalan hijriyah, mereka menggunakan penanggalan tersebut sebagai penanggalan resmi, khususnya dalam penetapan bulan-bulan penting dalam islam, seperti penetapan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah. Bahkan setelah kedatangan penjajahan Belanda, pemerintah Belanda membiarkan saja pemakaian penanggalan tersebut.
            Namun setelah proklamasi kemerdekaan, pengaturan seluruhnya diserahkan kepada Departemen Agama yang tercantum dalam Penetapan Pemerintahtahun 1946 No 2/Um. 7 Um. 9/um, dan dipertegas dengan Keputusan Presiden No.25 tahun 1967 No. 148/1967 dan 10 No. 1971. Walaupun semua keputusan dalam penentuan bulan-bulan Qamariah khususnya yang berhubungan dengan pelaksaan peribadatan kepada pemerintah, namun perbedaan dalam penentuannya tidak bisa dielakkan karena adanya dua mazhab besar di Indonesia yaitu mazhab rukyah dan mazhab hisab.

2. Aliran-aliran Hisab dan Rukyah
            Apabila kita lihat dengan seksama, perbedaan cara pandang yang digunakan bagi kalangan penganut  metode hisab masih diperdebatkan, satu pihak menetapkan bahwa hisab adalah sebagai penentu masuknya tanggal baru dan tidak perlu lagi melakukan rukyah dalam segala keadaan., sedangkan pihak lain berpendapat bahwa hisab hanyalah sebagai pendukung pelaksanaan rukyah bukan sebagai penentu utama.
Bagi kalangan penganut rukyah, rukyah harus tetap dilakukan walaupun menurut hisab hilal tidak bisa dilihat karena masih berada dibawah ufuk. Hal ini dilakukan agar penetapan adanya istikmal benar-benar berdasarkan rukyah dilapangan, bukan berdasarkan hisab.
            Dari cara pandang inilah terjadinya perbedaan dalam pelaksanaan peribadatan terutama memulai puasa Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Dan jika ditelusuri lebih lanjut adanya perbedaan tersebut khususnya di Indonesia disebabkan dua hal yang pokok:
1.        Dari segi penetapan hukum.
2.        Dari segi sistem dan metode penghitungan.

1. Dari segi penetapan hukum
            Di Indonesia terbagi menjadi empat kelompok besar:
Kelompok pertama: yang berpegang pada rukyah.
Kelompok ini bukannya tidak melakukan hisab. Hisab sebagai persiapan untuk mensukseskan mereka dalam melakukan rukyah. Hanya saja mereka ini menganggap bahwa hisab itu sebagai alat bantu saja guna suksesnya rukyah.
Landasan pokok dari kelompok ini karena adanya hadits Nabi SAW yang berbunyi:
صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فإن غمى عليكم فأكملواالعدد (رواه مسلم)
Artinya: “ Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Apabila hilal itu tertutup awan atasmu maka sempurnakanlah bilangan itu (bilangan bulan sya’ban tiga puluh)”. (Diriwayatkan oleh Muslim).
            Sedangkan menurut mereka ayat-ayat al-Qur’an yang yang berhubungan dengan hisab dipandang sebagai ayat-ayat mujmal dan tidak ada sangkut pautnya dengan hukum. Ayat-ayat tersebut menurut mereka adalah mengemukakan tanda-tanda kekuasaan Allah agar manusia mengakui kekuasaan dan keagungan Allah SWT.
Kelompok kedua: kelompok yang memegang ijtima’       
            Kelompok ini pada saat-saat melakukan perhitungan-perhitungan hanyalah sampai kepada penentuan ijtima’ saja dan biasanya tidak pernah menjelaskan kedudukan bulan berapa derajat diatas ufuk. Mereka berpendirian apabila ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam maka keesokan harinya dianggap bulan baru, sedang apabila ijtima’ terjadi sesudahnya maka keesokan harinya dianggap bulan yang masih berjalan. Pendapat ini dilandaskan berdasarkan firman Allah SWT surah Yunus ayat 5 yang berbunyi:
Artinya :  “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.”

Dan surah Yasin ayat 39 yng Artinya: Dan Telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (Setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”.         
            Mereka berpendapat hadits Nabi yang memerintahkan untuk berpuasa dengan melihat bulan dan berlebaranlah dengan melihat bulan bukalah sebuah kepastian dan bukan satu-satunya jalan dalam menentukan masuknya awal bulan.
Kelompok ketiga: kelompok yang memegang bahwa ufuk hakiki sebagai kriteria untuk menentukan wujudnya hilal.
            Kelompok ini beranggapan apabila bulan sudah berada di atas ufuk hakiki pada saat matahari terbenam maka bulan dihukumi wujud. Artinya malam itu dan keesokan harinya sudah masuk tanggal baru dan sebaliknya apabila hilal berada di bawah ufuk hakiki maka malam mitu dan keesokan harinya masih dianggap sebagai bulan yang sedang berjalan. Penggunaan ufuk hakiki sabagai dasar penghitungan karena bagi mereka bulan dalam keadaan dekat dengan matahari tidak mungkin bersinar, oleh karena itu mereka tidak melakukan koreksi-koreksi yang berguna untuk rukyah. Pendapat kelompok ini berlandaskan pada firman Allah seperti yang dikemukakan oleh kelompok kedua. Perbedaannya hanya pada pemahaman dan mengambil kesimpulan dari ayat-ayat tersebut. Bils kedudukan bulan diketahui dengan akal sudah berada di atas ufuk  hakiki maka pengetahuan akal itu merupakan alat yang kuat untuk menentukan masuknya tanggal baru.
            Kelompok keempat: kelompok yang berpegang kepada kedudukan hilal diatas ufuk mar’i – yaitu ufuk yang dapat dilihat langsung oleh mata kepala-sebagai kriteria dalam menentukan masuknya awal  bulan..
            Dengan ketentuan apabila hilal berada di atas ufuk mar’i pada saat matahari terbenam dianggap mereka hilal sudah wujud, sedang apabila hilal berada di bawahnya dianggaplah malam itu dan keesokan harinya akhir bulan yang sedang berjalan.dasar hukum yang yang dijadikan acuan kelompok ini sama dengan kelompok kedua dan ketiga. Perbedaannya terletak pada upaya mereka selain menggunakan ayat-ayat al-Qur’an mereka juga mengaitkan dengan jiwa yang terkandung dalam hadits Nabi, yakni kedudukan  bulan ditentukan dengan cermat sehingga diperkirakan sesuai dengan pandangan mata peninjau. Oleh karena itu, kelompok ini dalam perhitungannya melakukan koreksi-koreksi baik terhadap kedudukan hilal yaitu menyangkut semidiameter bulan, reflaksi dan parralax, juga terhadap keadaan ufuk yaitu koreksi kerendahan ufuk dan refraksi terhadap ufuk itu.

2. Dari Segi Sistem dan Metode Perhitungan
            Aliran-aliran hisab di Indonesia apabila ditinjau dari segi sistemnya dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama: Hisab ‘Urfi
            Dinamakan hisab ‘urfi karena kegiatan perhitungannya dilandaskan kepada kaidah-kaidah yang bersifat tradisional yakni sistem perhitungan penanggalan yang didasarkan kepada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional yang mana lama peredaran bulan mengelilingi bumi lamanya 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Lama hari tiap-tiap bulab berselang-seling antara 29 dan 30 hari kecuali unutk bulan Dzulhijjah. Bila termasuk tahun kabisat maka jumlah harinya 30 dan bila basithoh maka jumlah harinya 29 hari. Dalam satu tahunnya terdapat 12 bulan yang lamanya ditetapkan 354 hari 8 jam 48,5 menit tau bila disederhanakan menjadi 354 11/30 hari.
            Dengan sistem ini kita dapat mempredeksi kapan jatuhnya tiap-tiap tanggal satu dan tanggal lainnya dalam tiap-tiap bulan dengan perhitungan-perhitungannya tanpa melihat data peredaran bulan dan matahari. Akan tetapi sistem ini tidak sesuai dengan yang dikehendaki dalam nash, khususnya dalam menentukan bulan-bulan yang berkaitan dengan peribadahan, maka umat islam tidak menggunakannya kecuali hanya untuk membuat perkiraan dalam menelusuri data peredaran matahari dan bulan yang sebenarnya.

Kelompok kedua: Hisab Hakiki
            Sistem hiab hakiki adal;ah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya atau sistem perhitungan yang menggunakan metode penentuan bulan pada saat matahari terbenam. Umur tiap bulan pada sistem ini tidak tetap, terkadang berturut-turut 29 hari atau 30 hari bahkan juga bergantian seperti pada hisab ‘urfi. Sistem ini dianggap sesuai dengan yang dikehendaki nash karena memperhitungkan kapan hilal akan wujud sehingga sistem ini banyak dipergunakan oelh umat isalm dalam menentukan tanggal baru terutama yang berkaitan dengan pelaksaan ibadah.

3. Ijtihad dan Ikhtilaf Para Ulama tentang Penentuan Bulan Qamariyah
a. Perbedaan Dalam Menentukan Peran Hisab dan Rukyat.
            Merujuk kepada dalil tentang rukyat, sebagaimana telah dikemukakan, para ahli fikih berbeda pendapat mengenai kedudukan serta peran hisab dan rukyat dalam penentuan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadhan dan Syawal.
Sebagian fuqaha‟ berpendapat bahwa penentuan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadhan dan Syawal, adalah berdasarkan rukyat hilal. Pendapat ini berdasarkan metode mengqiyaskan hukum bulan selain bulan Ramadhan dan Syawal dengan kedua bulan tersebut yang berdasarkan hadis Nabi tentang rukyat, dan adat kebiasaan masyarakat Arab. Fuqaha‟ lainnya berpendapat bahwa penentuan awal bulan selain Ramadhan dan Syawal adalah berdasarkan hisab.
a.         Kelompok pertama adalah mereka yang memberikan kedudukan serta peran utama bagi rukyat dengan “mata telanjang”, dan mengkesampingkan sama sekali peran hisab. Termasuk kelompok ini adalah fuqaha‟ Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah, dan pengikut Ibnu Hajar dari kalangan Syafi‟iyah.
            Menurut kelompok ini, rukyat dapat diterima meskipun bertentangan dengan perhitungan hisab, sekalipun cuaca mendung, namun apabila hilal tidak bisa dirukyah maka bilangan bulannya disempurnakan menjadi 30 hari. Hisab sama sekali tidak dapat dijadikan pedoman bagi orang awam, kecuali hanya bagi ahli hisab saja. Menurut mereka, puasa berdasarkan hisab adalah tidak sah.
b.         Kelompok kedua memberikan kedudukan serta peran utama kepada rukyat dan peran hisab adalah sebagai pelengkap. Termasuk kelompok ini adalah pengikut Imam al-Ramli dari golongan Syafi‟iyah. Menurut kelompok ini, ketetapan ilmu hisab berlaku bagi ahli hisab dan orang-orang yang membenarkannya. Mereka berpendapat bahwa hisab hanya sebagai alat pembantu, sedangkan rukyat adalah sebagai penentu.
c.         Kelompok ketiga memberikan kedudukan serta peran utama kepada hisab, dan peran rukyat adalah sebagai pelengkap.
kelompok ini, rukyat dapat diterima bila tidak bertentangan dengan hisab. Apabila ahli hisab berkesimpulan bahwa hilal mungkin dapat dilihat jika tidak terhalang mendung atau partikel lainnya, maka hari berikutnya merupakan awal Ramadhan atau Syawal.
d.        Kelompok keempat adalah kelompok yang memberikan kedudukan serta peran utama kepada hisab, dan mengkesampingkan sama sekali kedudukan serta peran rukyat dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal. Sebagian kelompok ini berpendapat bahwa dasar penentuan awal Ramadhan adalah wujudul hilal, yaitu tempat-tempat yang mengalami terbenam matahari dan bulan disaat bersamaan, jika tempat-tempat hilal itu dihubungkan, maka akan terbentuk sebuah garis, garis inilah disebut garis batas wujudul hilal.
            Dari sekian pendapat diatas, menurut hemat  penulis pendapat yang menyatakan bahwa rukyah sebagai penentu dan hisab sebagai alat pembantu lebih dapat dipertanggung jawabkan dari yang lain, karena dengan perhitungan-perhitungan hisab itu akan sangat membantu untuk keberhasilan rukyah.

b.  Berita Terlihatnya Hilal
            Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang kesaksian orang yang melihat hilal. Cukupkah dengan rukyahnya sorang yang adil, dua orang yang adil, ataukah harus dilakukan oleh sekelompok orang???. Berikut berbagai pendapat para ulama mengenai hal ini:
1.        Kesaksian terhadap berita terlihatnya hilal cukup dilakukan oleh seorang saja. Ini adalah pendapat yang diperpegangi oleh Ibnu Mubarak, Ahmad bin Hambal dan Imam Syafi’i. Menurut  Imam Syafi’i kesaksian cukup dilakukan oleh satu orang yang adil, dengan syarat: Muslim, berakal, dan adil tanpa membedakan apakah langit ketika itu cerah atau tidak. Sedangkan Imam Hambal membedakan antara hilal Ramadhan dengan Hilal Syawal. Hilal Ramadhan cukup dengan kesaksian seorang yang adil, baik wanita maupun lelaki, tapi kalau hilal Syawal harus dengan dua orang saksi yang adil.
            Pendapat ini didasari oleh hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa ada seorang Arab Badui yang datang kepada Nabi dan ia pun bera ni bersaksi bahwa ia telah melihat hilal. Kemudian Nabi memerintahkan kepada Bilal unttuk mengumumkan kepada orang banyak untuk berpuasa keesokan harinya.
2         Kesaksian harus dilakukan oleh dua orang. Ini adalah pendapat Laits, Auza’i dan Tsauri dan Imam Malik. Menurut Imam Malik tidak boleh berpuasa dan berbuka kalau informasinya kurang dari dua orang yang adil tanpa membedakan antara hilal Ramadhan dan Syawal, dan tidak pula antara langit cerah maupun tidak cerah.
            Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi saw yang berbunyi:
صو موا لرؤيته وأفطروا لرؤيته واسكنوا لها. فإن غم فأتموا ثلاثين فإن شهد شاهدان  فصوموا وأفطروا (راوه النسائ )
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan berhari rayalah kalian karena melihat bulan, dan beribadah lah kalian karena melihat bulan. Kemudian jika bulan itu terdinding oleh awan, maka genapkanlah tigapuluh hari. Tetapi jika ada dua saksi muslim yang melihatnya, maka berpuasalah kalian dan berhari rayalah”

3.       kesaksian harus dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Ini adalah pendapat pengikut Hanafi, yakni pada saat terang benderang. Mereka memperbolehkan persaksian satu orang ketika langit berawan, karena mungkin saja ketika awan tersibak seseorang menyaksikan bulan tanpa disaksikan oleh yang lain. Adapun mengenai jumlah orang banyak, hal ini dikembalikan kepada pendapat imam atau hakim, tanpa menetukan jumlah tertentu.

c. Perbedaan Mathla’(batas geografis keberlakuan rukyah)
            Para ulama berbeda pendapat tentang keberlakuan mathla’ terhadap suatu wilayah dimana ada suatu tempat yang melihat hilal, bagaimana tempat-tempat yang lain yang tidak hilalnya tidak terlihat, apakah harus mengikuti suatu tempat yang melihat hilal atau tidak..?. ada beberapa pendapat ulama mengenai hal itu:
1.            bila hilal telah nampak pada suatu daerah, maka seluruh penduduk berbagai daerah wajib mengikuti daerah tersebut tanpa membedakan antara jauh dan dekat, dan tidak perlu lagi beranggapan adanya perbedaan munculnya hilal. Demikian menurut Imam Hanafi, Malaki, dan Hambali.
2.            kalau penduduk suatu daerah melihat hilal, dan penduduk daerah lain tidak melihatnya, bila dua daerah tersebut berdekatan, maka hukumnya satu. Tetapi kalau munculnya berbeda, maka setiap daerah mempunyai hukum khusus. Ini pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ja’far
3.            penduduk suatu daerah/negara tidak harus mengikuti penglihatan (rukyah ) daerah/negara lain, kecuali jika rukyah itu dilakukan oleh imam agung, maka semua manusia harus mengikutinya. Demikian pendapat Ibnu Majisyun.
            Dari tiga pendapat diatas, pendapat kedualah yang paling logis dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmu pengetahuan. Karena menurut ilmu pengetahuan, suatu negara disamakan dengan negara lain dalam penetapan tanggalnya apabila mathla’nya tidak berjauhan, karena ufuknya sama. Kalau berjauhan atau berbeda jauh, maka tidak boleh disamakan.


Daftar pustaka
Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Nisabury, Shahih Muslim Beirut: Darul Kutub al-Alamiyah, 1992

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Darul Kutub al-Alamiyah,

Al-atsary, Abu Yusuf, Pilih Hisab atau Rukyah, Solo: Pustaka Darul Muslim,      2006
                         
Al-Jailany, Zubair Umar, al-Khulasatul Wafiyah Fil Falaky Bi Jadwalil       Lugharitmiyah, Kudus: Menara Kudus, 1975

An-Nasai, Sunan Nasai, Beirut: Darul Kutud al-Alamiyah, TT

Depag RI, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek Pembinaan   Badan Peradilan Agama Islam, 1981

------------Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah dengan Ilmu Ukur Bola, Jakarta:   Dirpinbapera Dirjen  Binbaga Islam, 1995

------------Al-Qur’an dan terjemah, Bandung: CV Penerbit J-ART,2007

              Izzuddin,Ahmad, Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta: Erlangga, 2007

Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008

            Maskufa, Ilmu Falak,  Jakarta: Gaung Persada (GP Press), 2009

            Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2008

Qardhawi, Yusuf, Fiqih Puasa ,diterjemahkan oleh. Ma’ruf Abdul Jamil, dkk ” Fiqih Puasa”, Solo: Era Intermedia2006

Rusyd,Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid Analisa Fiqih Para Mujtahid, diterjemahakan oleh Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun “Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid”, Jakarta: Pustaka Amani, 2007

Syaukani,  Nailul Authar , diterjemahkan oleh Muammal Hamidy ,dkk “ Terjemah Nailur Authar” Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar