Kemuliaan, keberkahan, ampunan juga pahala yang berlimpah baru akan didapat seorang muslim manakala perintah dan larangan Allah SWT. telah ia patuhi. Di siang hari ia mengerjakan ibadah puasa, menahan diri dari lapar dan dahaga, hubungan intim, dan juga mengendalikan amarah dan menjauhi perkataan keji. Nabi SAW. bersabda:
«الصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ. مَرَّتَيْنِ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ، يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى، الصِّيَامُ لِى، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا»
Puasa itu perisai, maka janganlah berkata keji dan jahil, dan jika ada seseorang yang menyerangnya atau mencacinya hendaklah berkata ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa’, ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa’. Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, bau mulutnya orang yang berpuasa lebih baik di sisi Allah ketimbang wangi kesturi, ia meninggalkan makanannya, minumannya, serta syahwatnya demi diriKu, (maka) puasa adalah untukKu, dan Aku yang akan membalasnya, dan kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali dari semisalnya. (HR. Bukhari).
Yang dimaksud dengan ‘puasa sebagai perisai (junnah)’, adalah puasa menjadi pelindung dan pencegah dirinya dari berbagai perbuatan dosa. Adapun yang dimaksud dengan wa lâ yarfuts adalah jangan berkata kotor dan mengandung syahwat/cabul. Sedangkan al-jahlu dalam hadits itu bermakna perbuatan tidak pantas yang tidak berlandaskan ilmu, atau sia-sia. Bila seorang muslim telah melakukan hal-hal demikian, maka barulah ia layak mendapatkan berbagai keutamaan-keutamaan Ramadhan yang telah dijanjikan Allah SWT.
Intinya, dengan bulan Ramadhan ini Allah menginginkan seorang muslim melakukan pembersihan diri (tazkiyatun nafs). Syahwatnya Allah minta untuk dikendalikan, jangankan kepada wanita yang bukan haknya, istrinya yang sah sekalipun tidak boleh ia datangi di siang hari saat Ramadhan. Begitupula makan dan minum yang halal pada bulan lain, harus ia jauhi selama berpuasa. Dengan begitu akan bersihlah dirinya dari berbagai hawa nafsu yang dapat merusak kepribadiannya.
Orang yang berpuasa juga diperintahkan menjaga lisan dan perbuatannya dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia, apalagi yang mungkar. Di sisi lain ia pun diperintahkan untuk menghidupkan berbagai ibadah, semisal tadarrus al-Quran, bersedekah, i’tikaf, dan qiyamul layl, sehingga terbentuklah pribadi muslim yang jauh dari kemungkaran dan sebaliknya, senantiasa mendekat bertaqarrub kepada Allah SWT.
Merugilah seorang muslim yang menjalankan shaum Ramadhan dengan hanya sekadar menahan lapar dan haus, akan tetapi tidak membersihkan dirinya dari segala kemaksiatan. Allah SWT. tidak membutuhkan puasa seseorang yang hanya menahan lapar dan dahaga tapi masih bergumul dengan perkataan dan perbuatan keji.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Siapa yang tidak meninggalkan perkataan keji dan perbuatannya, maka tidaklah Allah membutuhkan perbuatannya meninggalkan makanannya dan minumannya. (HR. Bukhari).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar