Dalam pandangan Islam, kemiskian (al-miskin) atau kefakiran (al-faqr)
indikasinya sama, jika kebutuhan dasar setiap individu perindividu di
dalam masyarakat (sandang, papan dan pangan) tidak terpenuhi; termasuk
kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan keamanan; sekalipun yang
terakhir ini merupakan tanggung jawab negara secara langsung.
Kemiskinan (al-faqr), menurut bahasa, adalah ihtiyâj (membutuhkan). Faqara wa iftaqara adalah lawan dari istaghna (tidak membutuhkan, atau kaya); iftaqara ilaihi maknanya adalah ihtâja (membutuhkan); faqîr (orang yang membutuhkan); bentuk jamaknya fuqara'. Faqîr
menurut pengertian syariah adalah orang yang membutuhkan dan keadaannya
lemah, yang tidak bisa dimintai apa-apa. Allah Swt. berfirman:
]رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ[
"Ya Rabbi, seungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (QS al-Qashash [28]: 24).
Maksudnya, sesungguhnya aku faqîr, atau membutuhkan kebaikan apapun yang Engkau turunkan kepadaku, baik sedikit maupun banyak. Allah Swt. juga berfirman:
]وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ[
(Sebagian lagi) berikanlah kepada orang-orang yang sengsara lagi fakir. (QS al-Hajj [22]: 28).
Maksud kata bais di dalam ayat tersebut adalah orang yang tertimpa kesengsaraan, atau kemelaratan. Jadi, faqîr
adalah orang yang menjadi lemah oleh kesengsaraan. Ayat-ayat dan
beberapa pernyataan sahabat dan tabiin tersebut menunjukkan, bahwa fakir
adalah ihtiyâj (membutuhkan).
Islam
memandang masalah kemiskinan ini dengan standar yang sama, di negara
manapun, dan kapanpun. Karena itu, menurut pandangan Islam, kemiskinan
adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan primer secara menyeluruh.
Syarih juga telah menetapkan kebutuhan primer tersebut, yaitu sandang,
papan, dan pangan. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS al-Baqarah [2]: 233).
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatlah mereka (para istri) di mana kalian bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuan kalian. (QS ath-Thalaq [65]: 6).
Ibnu Majah meriwayatkan hadis dari Abi Ahwash yang mengatakan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ»
Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan. (HR Ibn Majah).
Ini
menunjukkan bahwa kebutuhan primer—ketika tidak terpenuhi dianggap
miskin—adalah sandang, papan, dan pangan. Hal-hal lain selain sandang,
papan dan pangan dianggap sebagai kebutuhan skunder; orang yang tidak
bisa memenuhinya (setelah kebutuhan-kebutuhan primernya sudah terpenuhi)
tetap tidak bisa dianggap sebagai orang miskin.
Kemiskinan
adalah sumber kemunduran. Islam bahkan telah menjadikan kemiskinan itu
sebagai ancaman dari setan. Allah Swt. berfirman:
]الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ[
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan. (QS al-Baqarah [2]: 268).
Islam
juga telah menganggap kemiskinan itu sebagai kelemahan sekaligus
menganjurkan agar kita mengasihi orang-orang miskin. (Lihat kembali: QS al-Hajj [22]: 28).
Islam
telah menjadikan terpenuhinya kebutuhan primer serta mengusahakannya
untuk orang yang tidak bisa memperolehnya adalah fardlu. Jika kebutuhan
primer tersebut bisa dipenuhi sendiri oleh seseorang, maka pemenuhan
tersebut menjadi kewajibannya. Namun, jika orang tersebut tidak bisa
memenuhinya sendiri, karena tidak mempunyai harta yang cukup atau karena
dia tidak bisa memperoleh harta yang cukup, maka syariah telah
menjadikan orang tersebut wajib ditolong oleh orang lain, sehingga dia
bisa memenuhi kebutuhan primernya.
Dalam hal ini, Islam bahkan telah merinci tatacara membantu orang seperti ini. Pertama: Islam mewajibkannya kepada kerabat terdekat yang memiliki hubungan darah. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).
Kedua:
Apabila orang tersebut tidak mempunyai sanak-kerabat yang wajib
menanggung nafkahnya, maka kewajiban memberikan nafkah kepada orang
tersebut dipindahkan kepada Baitul Mal, pada bagian zakat. Allah Swt.
berfirman:
]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ[
Zakat itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang fakir dan miskin. (QS at-Taubah [9]: 60)
Ketiga:
Apabila bagian zakat dari Baitul Mal tersebut tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan para fakir miskin, maka negara wajib memberikan
nafkah kepada mereka dari bagian lain, dari Baitul Mal.
Keempat:
Jika di dalam Baitul Mal tidak terdapat harta sama sekali, maka negara
harus mewajibkan pajak atas harta orang-orang kaya, dan mengusahan pajak
tersebut untuk dinafkahkan kepada para fakir miskin. Sebab, dalam
keadaan demikian, kewajiban tersebut berlaku untuk seluruh kaum Muslim.
Dalam sebuah hadis qudsi, sebagaimana dituiturkan Anas ra., Nabi saw.
pernah bersabda:
"Tidaklah beriman kepada-Ku siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya." (HR al-Bazzar).
Allah Swt. juga berfirman:
]وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ[
Di dalam harta mereka terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta, yang tidak mendapat bagian. (QS adz-Dzariyat [51]: 19)
Rasulullah
saw. juga pernah menahan harta dengan hanya memberikan bagian kepada
orang-orang Muhajirin yang fakir, tidak kepada kaum Anshar. Semua itu
membuktikan, bahwa menaggung para fakir miskin merupakan kewajiban bagi
seluruh kaum Muslim. Selama hal itu menjadi kewajiban seluruh kaum
Muslim, maka Khalifah wajib—karena dia wajib untuk melayani urusan
umat—mendapatkan harta tersebut dari kaum Muslim agar dia bisa
melaksanakan apa yang menjadi kewajiban mereka.
Ringkasnya,
orang fakir yang wajib diberi nafkah adalah karena kebutuhan-kebutuhan
primernya tidak terpenuhi, yaitu orang yang membutuhkan sandang, papan
dan pangan. Sebaliknya, orang kaya, yang wajib memberikan nafkah serta
berkewajiban sebagaimana kewajiban seluruh kaum Muslim terkait dengan
tanggungjawab harta, adalah orang yang memiliki kelebihan dari sisa
memenuhi kebutuhannya dengan cara yang makruf, yang bukan hanya
kebutuhan primernya saja. Wallâhu a'lam bi ash-shawâb
ga ceto
BalasHapus